Saturday, November 15, 2008

Perempuan Aceh apa kabar?

Dalam kegiatan pembekalan dengan fasilitator desa dalam program kami (CEPA), terjadi diskusi menarik mengenai pelibatan perempuan dalam pembuatan keputusan. Ya, bicara tentang pelibatan perempuan dalam kegiatan apapun memang selalu menarik perhatian dan bahkan cenderung memunculkan kontoversi.

Saya memang lebih suka menggunakan istilah "pelibatan perempuan" dibandingkan dengan memunculkan istilah "gender", karena ada kesan dimana penggunaan istilah gender diartikan sebagai segala macam usaha perempuan untuk bisa disamakan dengan laki-laki.

Secara umum hampir seluruh peserta (31 orang) yang terdiri dari 8 perempuan dan 23 laki-laki; memahami dan menyadari pentingnya perempuan dilibatkan secara aktif dalam pembuatan keputusan. Walaupun tidak menggunakan istilah akademis, mereka mengerti bahwa perempuan memiliki kebutuhan praktis dan strategis yang berbeda dengan laki-laki dan karenanya perlu dilibatkan dalam pembuatan keputusan, baik di lingkungan rumah tangga (domestik) maupun di lingkungan pekerjaan atau kemasyarakatan. Mereka juga paham bahwa perempuan dan laki-laki diberi potensi yang sama oleh sang Maha Pencipta. Bahwa tidak ada sifat laki-laki dan perempuan, yang ada adalah sifat maskulin dan feminin; yang keduanya bisa dan bahkan perlu dimiliki oleh baik perempuan maupun laki-laki secara seimbang.

Ada hal menarik yang dimunculkan oleh para peserta pertemuan. Seorang peserta menyebutkan bahwa nilai sosial budaya masyarakat Aceh sebenarnya sangat menghormati dan menghargai perempuan. Masyarakat Aceh paham dan sadar benar bagaimana Wanita Aceh pendahulu mereka sangat luar biasa. Laksamana Malahayati yang gagah dan sanggup menaklukan lawannya. Tjut Nyak Dhien yang dikenal dengan keberanian dan kepahlawanannya. Tetapi justru karena penghormatan akan kemuliaan perempuan itulah maka dalam kegiatan di masyarakat yang memerlukan tenaga kasar, perempuan tidak secara langsung dilibatkan. Pernyataan ini sungguh menarik, dan tentunya harus diterima oleh kaum perempuan sebagai hal yang snagat positif.

Apa yang dinyatakan peserta lainnya, sungguh cukup mengejutkan. Ia menyatakan bahwa belakangan ada kecenderungan dimana perempuan Aceh salah memahami mengenai Kesetaraan Gender. Ada di antara mereka yang menggugat mengenai posisi perempuan sebagai pemimpin, domestifikasi (merumahkan) perempuan, warisan bagi perempuan, dll. Bahkan sepertinya ada kecenderungan dimana perempuan tidak merasa perlu lagi menghormati imamnya (dalam rumah tangga). Memang ini sungguh mengejutkan.

Memang dalam mempelajari feminisme, kita perlu berhati-hati. Kita perlu tahu filosofi apa yang digunakan sebagai dasar dalam melihat masalah feminisme itu. Sebagai Muslimah, seorang perempuan Aceh tidak pantas melihat masalah gender dengan menggunakan feminisme radikal, marxisme, dll. Bagaimanapun Agama adalah sistem nilai yang sudah pasti kebenarannya. Mutlak, tidak dapat diganggu gugat. Mungkin saja kita tidak paham (atau belum paham) tentang mengapa Allah menetapkan hak perempuan adalah setengah dari hak laki-laki dalam pembagian warisan. Tapi janganlah itu diartikan sebagai bentuk ketidak adilan. Mana mungkin Allah SWT yang Maha Adil dapat bertindak tidak adil? Kita mungkin hanya belum mengerti, karena keterbatasan kita sendiri.

Memang masih banyak pekerjaan rumah untuk memberdayakan perempuan Aceh. Sepertinya, diterapkannya syariah Islam yang mengharuskan kaum Muslimah mengenakan busana yang Islami, belum dapat dilihat (oleh kaum perempuan itu sendiri) sebagai usaha untuk menjaga kehormatan perempuan. Masih banyak perempuan yang melihatnya sebagai keharusan yang membebani. Karena itu masih banyak perempuan yang terus berusaha menampilkan "daya tarik tubuh"nya walaupun mengenakan busana Muslim. Sungguh patut disayangkan.

Bagaimana keberanian perempuan dalam mengemukakan pendapat di hadapan kelompok yang mayoritas laki-laki? Secara umum, masih sangat rendah. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pendidikan dalam lingkungan keluarga yang kurang memberikan kesempatan kepada anak perempuan dalam memberikan pendapat. Belum lagi pengalaman di sekolah dimana secara umum sekolah memang kurang membangun keterampilan dan keberanian dalam menyampaikan pendapat.

Pengalaman menarik terlihat dalam pertemuan kemarin. Pada hari pertama, hanya 2-3 perempuan yang berani mengemukakan pendapat tanpa harus diminta atau dipaksa. Pada hari berikutnya ketika diciptakan suasana yang lebih akrab, dimana lebih ada jaminan bahwa suara dan pikiran mereka tidak akan dicela oleh rekan-rekan mereka yang laki-laki, peserta perempuan lebih berani mengemukakan pendapat. Yang lebih membanggakan adalah, kualitas pendapat dan masukan mereka sungguh bermakna bagi tim.

Agaknya perempuan Aceh memerlukan model peran seperti Malahayati atau Cut Nyak Dhien, yang dapat membangkitkan kepercayaan diri mereka. Diperlukan lebih banyak perempuan yang bisa menjadi contoh dan motivasi bagi kaum perempuan lainnya. Perempuan Aceh, bangkit dan berbuatlah untuk anak-anak dan bangsamu!

Make me proud !

Bagi orang tua, tak ada lain yang menjadi impiannya adalah melihat anak-anak mereka tumbuh dengan sehat dan bahagia, dan menjadi manusia dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab. Ya, rasanya tak ada yang lebih penting dari itu. Kemandirian-lah yang membuat kita mampu memegang prinsip, yang akan memberanikan diri kita untuk mengatakan apa yang seharusnya dikatakan, untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kemandirian yang membuat kita tidak bergantung pada siapapun, yang membuat kita berani membela satu prinsip manakala banyak pihak lain memiliki pandangan berbeda.

Kemandirian, justru akan kukuh terbangun manakala kita dekat dengan yang Maha Kuasa. Hanya dengan menempatkan Allah SWT sebagai yang Maha Kuat dan Maha Kuasa, yang melihat bahwa hanya Dia-lah yang Maha, maka tidak ada satu manusia pun yang akan membuat hati kita ciut. Tak ada satu pihak pun yang dapat menteror kita, yang akan dapat menyurutkan langkah kita dalam memperjuangkan kebenaran. Tak ada yang dapat mengecilkan kita, walaupun mungkin secara material kita miskin.

Bertanggung jawab, berarti menyadari setiap kata yang diucapkan dan tindak yang dilakukan, dan berani menanggung segala akibatnya. Bertanggung jawab erat berkait dengan peran dan posisi kita masing-masing. Sebagai orang tua, sebagai anak, sebagai suami, atau sebagai seorang isteri; kita semua memiliki tanggung jawab masing-masing.

Make me proud, children! Jadilah manusia yang mandiri dan bertanggung jawab. Kalau kalian belum bisa mandiri apalagi bertanggung jawab, maka berarti aku gagal dalam mendidik kalian. Maafkan ......

Wednesday, September 03, 2008

Kepemimpinan Partisipatif



Banyak manajer, organisasi atau perusahaan yang mengaku menggunakan prinsip Kepemimpinan Partisipatif. Sebenarnya, apa sih kepemimpinan partisipatif itu ? Apa pentingnya menerapkan kepemimpinan partisipatif dalam suatu organisasi ? Apakah ada kondisi prasyarat agar kepemimpinan partisipatif ini dapat diterapkan dalam organisasi kita ? Mengingat sejarah dan pengalaman kita di Indonesia, serta kondisi SDM kita, apakah mungkin kepemimpinan partisipatif diterapkan ?

Mitch Mc Crimmon (2007) menulis bahwa menjadi pemimpin yang partisipatif berarti melibatkan anggota tim dalam pembuatan keputusan. Hal ini terutama penting manakala pemikiran kreatif diperlukan untuk memecahkan masalah yang kompleks atau membuat keputusan yang akan berdampak pada anggota tim.

Saya mencoba membuat tulisan dengan menggunakan sumber dari Mc Crimon, agar kita bisa lebih memahami dan karenanya mampu menerapkan kepemimpinan partisipatif secara benar dan utuh.

Secara sadar kita ingin membangun kemampuan tim kita. Tetapi ketika kita akan membuat keputusan, apakah kita akan melibatkan anggota tim ataukah kita buat keputusan sendiri dengan alasan untuk menghemat waktu ? Seorang pemimpin yang partisipatif berarti melibatkan tim dalam membuat beberapa keputusan kunci, bukan seluruh keputusan.

Tapi pertama-tama, mari kita lihat mengapa ada manager yang tidak terlalu partisipatif ? Alasan utama ialah karena mereka berpikir bahwa mereka harus terlihat kuat, tegar, independen dan tegas; agar bisa dilihat sebagai manager yang efektif. Mereka merasa bahwa kalau menerapkan kepemimpinan partisipatif maka mereka terlihat lemah atau tidak tegas. Memang pada organisasi yang anggotanya masih memiliki pandangan "bergaya lama", anggota tim atau pekerja/staf berharap agar manager mereka mampu membuat keputusan dan tidak perlu meminta masukan dari anggotanya. Di pihak lain, beberapa manager memang masih senang dengan perasaan memiliki kontrol dan kekuasaan untuk membuat keputusan. Yang terakhir, keterbatasan waktu kerap mendorong para manager untuk membuat keputusan sendiri.

Konsep kepemimpinan partisipatif tentunya diperkenalkan karena sejumlah keunggulan yang dimilikinya. Mengapa kita perlu mengadopsi gaya kepemimpinan partisipatif? Sekarang ini, begitu banyak staf yang pandai, profesional yang memiliki keterampilan dan kemampuan yang tinggi. Memotivasi para staf yang pandai dan profesional bisa dimulai dengan membuat mereka merasa dihargai. Tidak ada yang lebih sederhana dan baik untuk membuat mereka merasa dihargai selain meminta mereka, secara ikhlas, memberikan saran. Kita bisa menepuk punggung mereka dan menghargai apa yang sudah mereka lakukan tetapi ini tidak seefektif memotivasi melalui pelibatan mereka dalam pembuatan keputusan. Alasan kedua pada dasarnya merupakan akibat dari yang pertama. Staf yang terlibat dalam pembuatan keputusan akan lebih merasa memiliki terhadap program.

Tambahan lagi, sebagian besar pekerjaan kita sehar-hari menuntut orang untuk berpikir dan memecahkan masalah. Pekerjaan kita pada dasarnya juga adalah pekerjaan mental (mental work). Bila suatu tim perlu berpikir kreatif untuk memecahkan masalah, meningkatkan produktivitas atau efektivitas program; maka cara terbaik untuk mencapai mental work melalui staf adalah dengan meminta saran mereka.

Pertanyaan yang menggelitik adalah apakah kita sudah benar-benar menerapkan kepemimpinan partisipatif? Bila kita meminta saran dan masukan dari staf untuk meningkatkan kualitas keputusan yang akan dibuat, tetapi pada akhirnya kita mementahkan segala masukan itu; apakah itu dapat kita sebut sebagai kepemimpinan partisipatif ?

Saya pikir, ada hal penting yang harus dimiliki seorang manager untuk bisa menerapkan kepemimpinan partisipatif secara pas. Dia harus memiliki pandangan positif tentang staf. Seorang manager harus menempatkan atau memandang staf sebagai kekayaan/asset yang mampu (capable) memberikan sumbangan pemikiran. Seorang manager juga perlu open minded atau berpikiran terbuka. Hal ini mutlak diperlukan karena kadang atau bukan tidak mungkin, masukan dari staf berdeda atau bahkan bertentangan dengan pemikiran awal para manager. Yang terakhir, positive thinking. Manager yang memiliki pikiran positif tidak akan secara serta merta menduga apalagi menuduh staf yang berpikiran 'berbeda' sebagai penentang. Hanya manager yang berpikiran positif yang akan mampu membaca "kemurnian" ide dan saran staf. Manager yang pikirannya diwarnai dengan segala macam hal negatif tentang staf, akan sulit menerima saran dan masukan dari staf. Pada akhirnya, masukan dari staf tidak dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan. Bila ini terjadi, maka pelibatan staf dalam pembuatan keputusan hanya bersifat semu. Bukan yang sebenarnya.

Singkat kata, saya percaya bahwa kepemimpinan partisipatif hanya bisa dijalankan oleh manager yang telah memiliki kesiapan dan kematangan. Sikap dan pandangan manager
yang belum siap dan matang; yang dicirikan oleh ketidaksiapan menerima masukan yang berbeda, pandangan 'curiga' dan 'tidak percaya' pada kesungguhan dan kemurnian pemikiran staf; justru akan menjadi bumerang bagi organisasi, tim atau perusahaan. Alih-alih merasa dihargai, staf justru akan merasa dipermainkan dan tidak dihargai.

Sudahkah kita menjalankan kepemimpinan partisipatif ? Tentu tidak mudah kita menemukan jawabannya. Apalagi bila kita belum bisa 'membaca' dan 'memahami' staf atau anggota tim kita.

Mungkin ada pembaca yang memiliki pandangan berbeda mengenai apa yang saya tulis ini. Silakan memberikan masukan, saran atau sekedar respon untuk memperkaya wacana ini.

Sunday, July 27, 2008

Aceh oh ... Aceh

Dalam minggu ini listrik di beberapa kabupaten padam. Di Bireuen, 2 hari 2 malam listik padam total. Di masyarakat berkembang berbagai informasi tentang padamnya listrik ini. Ada yang mendapat info dari sumber yang katanya dapat dipercaya bahwa "ada sabotase di Kuala Simpang, tower PLN disana ditumbangkan". Info lain menyebutkan bahwa ada kerusakan di tower PLN di Kuala Simpang, tetapi bukan sabotase.

Teman-teman menceritakan bahwa pada masa konflik, listrik juga sering padam. Kadang kalau ada sabotase maka listrik bisa padam selama sekitar 3 minggu bahkan bisa sampai 1 bulan. Mendengar cerita tersebut, terang saja saya agak khawatir. Pada masa dimana kita sangat bergantung kepada listrik; bahkan untuk pekerjaan domestik yang sederhana sekalipun; matinya listrik cukup dirasa berat. Saya pun segera membeli genset agar pekerjaan di rumah tidak terganggu dengan mastinya listrik. Baru 1 hari genset dipakai, malam harinya listrik PLN menyala lagi. Padahal sebelumnya juga ada kabar bahwa paling tidak listrik akan mati selama 4 (empat) hari. Besoknya, di surat kabar lokal ada pernyataan Direktur PLN yang menyatakan bahwa "Tidak akan ada lagi pemadaman listrik di Aceh". Selain senang mendengar berita itu, ada juga senyum di bibir karena saya sudah terlanjur membeli genset.

Rupanya pernyataan Direktur PLN yang ditulis di surat kabar, tidak terbukti. Sehari setelah pernyataannya dipublikasikan, listrik padam lagi. Bukan hanya di Bireuen tetapi juga di beberapa kota, termasuk Banda Aceh dan Aceh besar. Hari ini surat kabar Serambi mengangkat berita tentang pernyataan pelanggan listrik. Menurut pelanggan, "Bebas pemadaman omong kosong !".

Masalah listrik juga menerpa ribuan rumah yang telah dibangun BRR. General Manager (GM) PLN Wilayah Aceh menyebutkan ada 80.000 unit yang dibangun BRR belum memiliki listrik. Informasi ini dipertanyakan oleh BRR Aceh - Nias. Menurut juru bicara BR Aceh - Nias, biaya pemasangan listrik untuk seluruh rumah yang dibangun BRR akan ditanggung BRR sedang pelaksanaan di lapangan diserahkan kepada PLN. Anggaran untuk pengadaan listrik yang disediakan BRR ialah sebesar Rp 460 milliar. Masalahnya PLN tidak pernah melaporkan kebutuhan untuk pelaksanaan pemasangan listrik di lapangan.

Aduh.... malu kita sama anak-anak. Untuk masalah sepenting ini saja tidak ada koordinasi. Apa susahnya menjalin komunikasi dan koordinasi, apalagi untuk kepentingan rakyat banyak.

Terus terang, ada banyak hal yang membuat saya nyaman dan merasa aman di Aceh. Banyak sistem nilai masyarakat yang sudah tidak lagi ditemukan di tanah Jawa (Priangan khususnya), masih dilaksanakan dengan sangat baik. Kebiasaan dan adat yang digunakan dalam perkawinan misalnya, masih diterapkan dengan cukup ketat. Yang paling saya kagumi adalah kebiasaan masyarakat dalam takdziah. Setiap ada yang meninggal dunia, maka masyarakat akan beramai-ramai bertakdziah. Mereka datang dari tempat yang dekat maupun jauh. Karena di desa-desa umumnya masyarakat tak memiliki kendaraan (mobil) sendiri, maka mereka akan menyewa kendaraan bak terbuka dan menggunakannya untuk bertakdziah. Tidak harus mereka kenal secara pribadi dengan almarhum atau keluarganya. Mereka datang karena percaya itulah yang disunahkan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka membayar ongkos secara berpatungan (iuran). Di rumah duka mereka berdoa (biasanya membaca surat Yasin) dengan dipimpin oleh tengku atau ustadzah yang menyertai mereka. Sungguh mengharukan. Hanya karena mengharap ridlo Allah SWT, mereka ikhlas melakukan perjalanan yang cukup jauh, dengan membayar ongkos mobil walaupun tidak semua dari mereka termasuk golongan yang mampu. Itulah orang Aceh. Bila mereka percaya, sayang dan menghormati kita, apapun akan mereka lakukan untuk memberikan yang terbaik. Semoga semua kebaikan orang-orang yang melakukan takdziah diterima sebagai amal baik dan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Aamiin.

Ketika saya mulai masuk ke Aceh, saya masuk dengan pikiran yang sangat positif. Ini adalah Aceh, yang masyarakatnya menyebut Aceh sebagai Serambi Mekah. Tentunya orang akan bersikap dan berperilaku Islami. Karena itu saya agak terkejut ketika melihat ada insiden dimana seorang lelaki turun dari motornya dan memaki-maki pemilik kendaraan lain ketika hampir terjadi tabrakan. begitu juga ketika saya membaca berita tentang cukup maraknya kasus korupsi di berbagai kabupaten. Banyak pejabat dipenjarakan karena kasus korupsi. Banyak anggora DPRD dihujat masyarakat karena meminta hak yang berlebihan tanpa peduli keadaan masyarakat yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan. Semakin hari semakin banyak informasi yang saya terima. Seorang Kepala Sekolah bingung ketika menerima bantuan rehabilitasi gedung sekolah. Ketika saya menanyakan apa sebabnya, karena seharusnya ia justru merasa senang, ternyata ia bingung karena belum juga ia terima uangnya, Dinas PK sudah mengingatkan untuk "menyisihkan" dana sebesar 5 % untuk Dinas PK. Bagaimana ini ? Salah seorang stafku dari gugus Jeunib mengatakan, "Itulah bu, orang Aceh ini takabbur. Menyebut Aceh sebagai Serambi Mekah, padahal kelakuan kita seperti ini".

Ada 2 (dua) kasus yang mungkin bisa menggambarkan bagaimana sifat orang Aceh. Ada 2 (dua) sekolah yang akan diberikan bantuan Dana Hibah untuk meingkatkan kualitas fisik sarana sekolah. Walaupun sekolah itu sudah memiliki jumlah ruang yang cukup, keduanya ngotot meminta dibangunkan 3 ruang kelas berlantai dua. Apa alasan mereka ? Hanya untuk prestise !!! Hanya ingin mendapat predikat "sekolah tingkat". Walaupun sudah dijelaskan berbagai macam pertimbangan, mereka ngotot ingin dibangunkan gedung bertingkat. Temanku yang asli orang Aceh mengatakan, "Inilah orang Aceh!".

Bagi saya, apa yang saya temui dan alami, menunjukkan bahwa Aceh adalah bagian dari Indonesia dan bagian dari bumi kita. Masyarakat di belahan bumi manapun, tidak semuanya suci atau memiliki sifat dan kelakuan yang terpuji. Tetapi juga tentu tidak semuanya buruk. Masih lebih banyak anggota masyarakat yang memiliki sifat, pandangan dan kelakuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Harapan kita tentu saja, semoga para pemimpin, para pembuat kebijakan; memiliki kearifan sehingga patut menjadi teladan masyarakat. Untuk Aceh yang sedang memulihkan diri setelah mengalami konflik berkepanjangan, kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpinnya memang menjadi kebutuhan utama yang sangat penting. Satu kata dan perbuatan, adalah pemimpin yang dapat dipercaya.

Sunday, May 11, 2008

Kabar dari NAD (2)

Hari Minggu ini di koran Serambi sedikitnya ada beberapa berita yang cukup menarik.

Pertama, berita tentang ambruknya 3 rumah bantuan BRR di Alue Naga Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Ketiga rumah itu rusak setelah diterpa angin kencang yang melanda kawasan itu. Bagian atap rumah dan beton penyangganya ambruk ke tanah. Padahal menurut pemilik rumah, angin tidak terlalu kencang. "Bagaimana bila sudah musim angin barat, anginnya lebih kencang dari biasanya. Bisa-bisa semua atap rumah disini diterbangkan angin".

Menyikapi kejadian tersebut Kordinator GeRAK Aceh, AKhiruddin Mahjudin mengatakan bahwa ambruknya atap rumah yang dibangun PT Kebun Buana Abadi itu merupakan bagian dari tindak korupsi. Menurut Akhiruddin banyaknya kasus rumah "Abu Nawas" yang roboh hanya karena diterpa angin, menunjukan lemahnya proses pengadaan barang dan jasa oleh BRR NAD-Nias. GeRAK mendesak wakil deputi untuk melaporkan kontraktor yang bersangkutan menyebutke penyidik, dan juga mendesak polisi melakukan penyidikan, dengan dan tanpa pengaduan dari BRR atau masyarakat.

Berita kedua yang menurutku cukup menarik adalah Kunjungan Kerja Kepala Dinas Pendidikan ke Pantai Barat - Selatan NAD. Drs. Mohd Ilyas A Wahab, melakukan kunjungan ke Kabupaten Aceh Barat (Meulaboh) dan Kabupaten Nagan Raya. Kunjungan kerja ini dimaksudkan untuk mengenali permasalahan pendidikan yang dihadapi di masing-masing kabupaten, tentunya agar bisa dicarikan alternatif upaya untuk mengatasinya. Sayangnya informasi yang diberikan oleh Dinas PK Kabupaten tidak dibarengi dengan kelengkapan data yang akurat. Hal ini tentu sangat disayangkan.

Kebetulan saya pernah bekerja bersama ERA (bantuan AusAID) membantu Dinas PK membina sejumlah gugus di Aceh Barat (2007) dan juga pernah bersama UNICEF membantu Dinas PK Nagan Raya dalam masa awal pasca Tsunami (2005). Juga pengalaman menemani team Design Mission dari AusAID bertemu dengan sejumlah pejabat Dinas PK dan dinas terkait di Kabupaten Pidie, Bireuen dan Aceh Barat (2007 - 2008). Dari pengalaman bertemu dengan pembuat kebijakan di Dinas PK, terlihat bahwa informasi yang disampaikan tentang permasalahan dan kebutuhan untuk mendukung pembangunan pendidikan cenderung didasarkan pada common sense dan bukan berdasarkan data yang akurat. Di Kabupaten Aceh Barat dan Bireuen misalnya, selalu diperoleh informasi tentang kurangnya pelatihan guru dan kurangnya tenaga guru.

Secara pribadi saya menyayangkan adanya informasi tentang perlunya pelatihan guru.Hal ini disebabkan karena sebenarnya cukup banyak pelatihan untuk guru, baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah. Tentu saja ketika kita berbicara tentang pelatihan untuk guru, tidak bisa kita berharap seluruh guru akan dapat menerima pelatihan di tingkat kabupaten. Baik di tingkatpendidikan dasar atau menengah, sebenarnya sudah tersedia mekanisme yang dibangun untuk menjamin seluruh guru di setiap unit pendidikan dapat menerima hasil pelatihan. Di tingkat sekolah dasar misalnya, sudah tersedia KKG atau kelompok Kerja Guru. Bila KKG sebagai wahana untuk pemberdayaan guru ini mampu berfungsi secara optimal, maka seluruh guru SD dan Madrasah akan dapat menerima hasil pelatihan. Demikian pula di tingkat SLTP dan SLTA, telah ada MGMP atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran. MGMP ini juga diciptakan agar guru yang telah memperoleh pelatihan di tingkat kabupaten, dapat menyebarluaskan atau membagikan hasil pelatihannya ke seluruh guru di sekolah lain. Revitalisasi wadah pemberdayaan guru inilah yang menurut saya perlu dilakukan. Saat ini tampaknya para guru yang sudah dilatih dan kerap dijadikan sebagai pelatih kabupaten juga belum terwadahi secara baik. Alangkah baiknya bila Dinas K bersama Kantor Departemen Agama membentuk wadah pelatih kabupaten yang akan ditugasi untuk membantu kedua instansi 1ni dalam melakukan pelatihan dan pendampingan bagi para guru di sekolah secara terstruktur.

Lain lagi saya melihat informasi mengenai kurangnya tenaga pendidikan. Baik untuk Kabupaten Aceh Barat maupun Bireuen, dari kesempatan saya berkunjung ke sejumlah sekolah di daerah kota dan daerah pedalaman, saya melihat masalah guru bukan pada jumlah melainkan pada distribusinya. Di salah satu SD di Peusangan misalnya, saya menemukan adanya 22 guru di satu sekolah yang hanya memiliki 12 rombongan belajar. Sementara di daerah Jeunieb dan Simpang Mamplam dapat ditemukan sekolah yang hanya memiliki 3 orang guru untuk melayani 6 rombongan belajar. Mengenai hal ini tidak banyak yang bisa saya katakan. Karena bila saja pendataan tentang kondisi guru (jumlah dan kualifikasi serta disribusinya) dilakukan secara serius dan datanya digunakan oleh Dinas PK dalam perencanaan pembangunan pendidikan kabupaten, tentunya tanpa diwarnai oleh KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) maka tidak perlu terjadi distribusi guru yang tidak merata.

Kondisi pendidikan seperti ini juga menjadi perhatian CEPA. Itulah sebabnya program CEPA ini tidak hanya diarahkan pada pemberdayaan sekolah dan masyarakat, melainkan juga pada peningkatan kepedulian dan komitmen Pemerintah Daerah dalam melakukan perbaikan di tingkat pembuat kebijakan.

Friday, May 09, 2008

Masih adakah konflik di Aceh ?

Program yang sekarang sedang kutangani adalah program pelibatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Aceh. Program di bawah Kemitraan Australia - Indonesia ini diberi nama CEPA (COmmunities and Education Program in Aceh). Di antara banyak program bantuan AusAID untuk Aceh, ini adalah salah satu program yang memiliki kekhususan. Dengan kekhususannya program ini hanya diterapkan di kabupaten yang pernah mengalami konflik yang berkepanjangan. Sedikitnya ada 3 kabupaten yang menjadi sasaran program, yaitu Kabupaten Bireuen, Aceh Utara dan Pidie Jaya. Untuk program phase kedua, CEPA akan difokuskan pada 2 kabupaten saja yaitu Bireuen dan Aceh Utara.

Program ini adalah program yang memiliki satu tujuan akhir yaitu meningkatnya peran serta masyarakat dalam membantu meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada 2 tujuan antara. Pertama, membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan terhadap kemampuan diri mereka sendiri; serta membangun kemampuan masyarakat untuk dapat berperan serta secara aktif dalam pembangunan pendidikan. Dan kedua adalah membangun kemampuan pembuat kebijakan dan pelaksana pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan.

CEPA memang berbeda dengan program pembangunan pendidikan yang dilaksanakan oleh donor lainnya. Kekhususan CEPA adalah dalam memadukan aspek pembangunan masyarakat (community development) dengan pendidikan masyarakat (community education) dalam kerangka pembangunan pendidikan (education development). Program ini erat hubungannya dengan amanat pemerintah yang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjamin peningkatan kualitas pendidikan. Saat ini walaupun melalui UUSPN dan sejumlah Keputusan Menteri Pendidikan Nasional telah ditegaskan mengenai pentingnya peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam mendukung pembangunan pendidikan, pada kenyataannya masih banyak Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang "ada tetapi tiada". Ada karena hampir setiap kabupaten dan sekolah mengakui adanya kedua lembaga ini. Tiada, karena mayoritas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut belum mampu berperan secara nyata dalam membantu pembangunan pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun di tingkat kabupaten.

Mengapa AusAID memfokuskan kegiatan ini di daerah yang pernah mengalami konflik berkepanjangan ? Mengenai hal ini, bahkan banyak orang Aceh yang tidak memahaminya. Pertemuanku dengan sejumlah orang di Banda Aceh mengantarkan mereka pada pertanyaan :"Apa memang masih ada konflik di Aceh? Apakah program ini tidak mengada-ada ?".

Pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Orang secara sederhana mengartikan konflik sebagai perang. Bila konflik diartikan sebagai perang, maka jawabnya adalah "tidak ada lagi konflik di Aceh!". Tetapi CEPA diarahkan pada membangun atau membangkitkan kembali kepercayaan, kemampuan dan semangat atau komitmen masyarakat di daerah pasca konflik untuk berpatisipasi aktif dalam membangun pendidikan. Lalu, mengapa harus digunakan pendekatan "resolusi konflik" ?

Konflik dalam bentuk perang memang sudah tidak lagi berlangsung. Tapi dampak dari konflik tadi masih terus terasa. Sebagian besar masyarakat masih tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah. Terhadap sekolah misalnya, masyarakat melihat sekolah sebagai "tidak terbuka dan korup". Di sisi lain, satu kelompok masyarakat juga tidak percaya kepada kelompok lainnya. Bahkan pada tingkat individu pun ditemukan adanya saling ketidakpercayaan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan konflik.

CEPA mencoba mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan seluruh institusi yang berkaitan dengan pembangunan pendidikan, termasuk kepada sekolah, Majelis Pendidikan Daerah (Dewan Pendidikan)dan Komite Sekolah. CEPA memiliki sejumlah prinsip dalam pelaksanaan programnya, yaitu prinsip inklusif, demokratis, partisipatif, transparansi dan akuntabilitas. CEPA menggunakan prinsip-prinsip tadi dalam perencanaan dan pelaksanaan programnya. Dalam pelaksanaan di lapangan, CEPA juga membelajarkan masyarakat melalui penerapan secara praktis prinsip-prinsip tadi dalam kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan sekolah.

Untuk membangun masyarakat yang peduli terhadap pendidikan, CEPA menyediakan Dana Hibah untuk sekolah. Dana Hibah yang dapat digunakan untuk meningkatkan Standar Pelayanan Minimal ini diberikan melalui dan dikelola oleh Panitia Pengembangan Sekolah (PPS). PPS ini dapat dikatakan sebagai Komite Sekolah yang diperluas. Mengapa CEPA tidak menggunakan Komite Sekolah saja ? Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa Komite Sekolah yang telah ada di sekolah, tidak cukup representatif. Asumsi ini berdasar pada kenyataan bahwa pembentukan banyak Komite Sekolah tidak dilakukan secara transparan, partisipatif dan inklusif.

PPS dibentuk dengan menerapkan seluruh prinsip diatas. Ide pembentukan PPS pada awalnya dipertanyakan oleh pihak kabupaten termasuk oleh MPD. Tetapi argumentasi mengenai keberadaan Komite Sekolah serta tujuan pembentukan PPS pada akhirnya dapat diterima oleh pihak pemerintah daerah. Bahkan Program Steering Committee di Kabupaten Aceh Utara menegaskan bahwa ide CEPA ini sangat baik dan bahkan mungkin perlu diadopsi oleh pemerintah daerah. Di lapangan, terbukti keberadaan PPS cukup berfungsi. Masyarakat yang memang merasa terwakili oleh PPS memiliki kepercayaan terhadap wadah masyarakat ini. Dalam mengelola Dana Hibah, melalui sistem pengelolaan dana yang juga menerapkan prinsip tadi, PPS dan masyarakat sama-sama belajar dan mempraktikan tentang partisipasi aktif, pembuatan keputusan bersama, keterbukaan, dan pertanggung jawaban.

Tentunya usaha untuk membangun masyarakat yang mau terlibat secara aktif dalam pembuatan keputusan, terbuka dan bertanggung jawab, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Justru dalam tahap inilah terlihat betapa konflik itu ada dan akan selalu ada. Konflik kepentingan (conflict of interest) selalu ditemukan dalam pelaksanaan di lapangan. Tetapi sekali lagi, dengan sistem yang dikembangkan dan diperkenalkan oleh CEPA, masyarakat ternyata mampu mengatasi konflik yang ada dengan melibatkan masyarakat secara inklusif dalam pembuatan keputusan yang bertanggung jawab.

Konflik yang menurutku paling berat untuk diatasi adalah justru berada pada sisi pemerintah daerah. Ketika masyarakat sudah terbangun kesadaran dan kemampuannya untuk menjaga (fungsi kontrol)agar sekolah dapat menjalankan peran dan fungsinya secara bersih melalui Manajemen Berbasis Sekolah, justru sekolah yang merasa mengalami kendala yang cukup berat. Hal ini dikarenakan pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tingkat kabupaten dan kecamatan, belum memiliki semangat apatah lagi menerapkan the clean and good governance.

Saat ini CEPA masih sedang dalam tahap bekerjasama dan bekerja bersama-sama dengan pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dan komitmen pemerintah daerah untuk mencapai pelayanan pendidikan yang lebih baik. Sambutan Dinas PK, Kantor Departemen Agama, MPD dan institusi lainnya termasuk BAPEDA dan DPRK; merupakan modal yang sangat penting untuk mencapai hal itu. Semoga !

Kabar dari NAD

Thanks to Telkomsel Flash, sekarang aku bisa akses internet kapanpun aku mau. Malam ini, aku ingin share tentang kejadian di Bireuen - NAD beberapa hari ini.

Tiga hari belakangan ini isu tentang sms dan telepon misterius menjadi topik pembicaraan semua orang. Pesan berbunyi " Jangan mengangkat atau menerima telpon bernomor MERAH atau dengan kode 08666 atau 0666, karena telpon itu bisa menelan jiwa. Hari ini sudah disiarkan di berita, terjadi di Jakarta dan sudah terbukti, sekarang masih diusut oleh Kepolisian. Dugaan sementara adalah kasus PEMBUNUHAN JARAK JAUH MELALUI TELEPON GENGGAM (HP) oleh DUKUN ILMU HITAM. Si penelpon adalah roh gentayangan yang mencari mangsa. Harap dimengerti dan dikirimkan ke teman atau semua saudara. Harap saling membantu".

Berbagai respon muncul dari berbagai pihak. Anak-anak sekolah yang pertama panik. Satu hari setelah isyu beredar, koran Serambi mengulas isyu ini dan mengingatkan masyarakat untuk tidak percaya pada isyu ini yang menjurus kepada syirik. Memang bukan hanya anak-anak yang termakan isyu ini. Di hari ketiga isyu semakin meluas dengan beredarnya kabar bahwa "di Matang (salah satu daerah di Kab Bireuen) sudah ada korban. Seseorang menerima telepon dan sesaat kemudian pipinya seolah terbakar. Korban kemudian dirujuk ke Rumah Sakit di Banda Aceh".

Hampir setiap orang membicarakan masalah ini. Teman-teman yang menggunakan RBT (ojek), becak ataupun kendaraan umum; semua mengaku ditanyai oleh banyak orang. "Kami orang awam, tapi... mungkinkah itu terjadi?". Bahkan banyak orang yang saling berkirim sms dan telpon agar tidak mengaktifkan HP pada pukul 09.00 12.00 hari Jum'at ini. Salah seorang staff di kantor juga menerima telpon dari seseorang yang mengaku ibunya, yang mengatakan "Jangan aktifkan telepon". Si penerima telpon yakin itu bukan ibunya, karena baik nomor HP maupun suaranya menunjukkan itu bukan ibunya. Mungkin seseorang ingin menelpon anaknya tapi karena panik maka terjadi salah sambung.

Aku melihat respon masyarakat sedikitnya dapat dikelompokkan ke dalam ada 2 bagian besar. Pertama, kelompok yang menerima isyu tersebut mentah-mentah. Mereka lalu mengirimkan sms atau bahkan menelpon saudara atau teman, mengingatkan mengenai isyu santet ini. Hal ini yang membuat isyu semakin meluas dan membuat kepanikan. Menurut teman-teman, hal ini dapa dipahami karena selama ini mereka masih trauma dengan adanya bencana Tsunami, gempa yang sering terjadi, serta konflik yang berkepanjangan. Pada umumnya, anak-anak dan orang tua (parents)termasuk ke dalam kelompok ini. Kedua, kelompok yang mencoba tetap rasional dengan mencari rasinalisasi dari pesan tersebut.

Siang tadi sekitar ba'da Jum'at, seorang teman di Kecamatan Simpang Mamplam menerima sms yang menyatakan bahwa "apa yang terjadi adalah pengiriman pesan yang mengandung radiasi sinar ultra merah yang memang membahayakan si penerima". Tentu saja, isyu yang sama "panasnya" ini juga disebarkan si penerima ke teman dan saudaranya. Entahlah, akupun tak paham apa yang sedang terjadi. Yang pasti berita tentang adanya korban dari Matang pun, tak ada yang mengaku melihat langsung. Semua hanya bersandar pada "kabarnya". Dan yang juga sama pastinya, banyak orang berpikir bahwa pesan tentang radiasi sinar ultra merah juga "dirasakan layak untuk disebarluaskan". Dampaknya, ribuan sms bertebaran di antara pengguna HP tentang isyu yang tidak jelas juntrungnya ini. Seseorang di Banda Aceh mengaku, dalam hari pertama ia mengabiskan pulsa sebesar sekitar Rp 10,000 untuk mengirimkan berita tentang isyu tersebut. Dari sisi ini mungkin kita bisa kuat menduga bahwa pesan tentang adanya santet dan penyebaran sinar ultra merah melalui telpon genggam, memang bertujuan untuk kepentingan memperoleh keuntungan materi semata. Bila ini benar adanya, sungguh tidak bertanggung jawab orang yang memunculkan isyu ini.

Berita yang juga muncul di koran Serambi adalah penembakan seorang ibu muda di kecamatan Bambi Kabupaten Pidie. Perempuan beranak 4 ini ditembak oleh 2 laki-laki ketika ia sedang menyusui anak bungsunya yang berusia 6 bulan. Polisi sudah mengidentifikasi pelaku dan kuat menduga bahwa kejadian itu dilatarbelakangi oleh soal utang piutang. Perempuan itu ditembak di rumahnya pada pukul 11 siang, ketika suami dan anggota keluarga lainnya juga sedang berada di rumah. Inna lillahi wa inna ilaihi ro'jiun.

Berita lainnya adalah tentang seorang pemuda yang menggorok leher ibu kandungnya. Minggu lalu ada kasus dimana seorang pemuda menggorok leher ayah kandungnya. Kabarnya, pemuda tadi stress. Polisi menyatakan bahwa mereka mengalami stress, tidak mampu berpikir jernih karena pengaruh narkoba, dan merasa menerima wangsit untuk membunuh orangtua mereka. Apapun itu, kenyataannya memang banyak ditemukan pemuda yang mengalami stress. Jangan pula disangka daerah di NAD ini bebas dari Narkoba. Bahkan di daerah pesisir Kabupaten Bireuen, daerah yang penduduknya memiliki kondisi ekonomi yang tidak terlalu baik, sering terdengar berita adanya penangkapan pengguna dan penyebar shabu-shabu.

Minggu ini salah satu tabloid juga memuat artikel tentang "ucapan yang dikeluarkan oleh Gubernur NAD". Kabarnya pak Gubernur ini memang dikenal dengan kebiasaannya mengeluarkan kata-kata kasar. Dalam kejadian minggu ini, sang Gubernur memaki dua orang wartawan sesaat setelah wawancara dilakukan. Konon sang Gubernur geram karena pemberitaan media yang dinilainya mengada-ada. Pak gubernur bahkan sampai mengeluarkan kata-kata "Babi kau !". Beberapa teman dekat beliau mengatakan "Itu memang sudah karakter dia. Susah untuk mengubahnya". Karakter atau bukan, para wartawan setuju bahwa itu bukan alasan untuk pembenaran. Mereka menuntut agar pak Gubernur melakukan somasi.

Dari Banda Aceh minggu ini ada berita tentang penembakan seorang Ketua RT oleh 2 orang berkedok. Kabarnya kedua orang tersebut memang sudah mengancam sang Ketua RT untuk memasukkan namanya sebagai calon penerima bantuan dari salah satu donor. Ketua RT menanggapinya dengan mengatakan bahwa hal itu masih dalam proses seleksi. Hasil seleksi belum dikeluarkan oleh donor tapi sang penjahat berkedok sudah tidak sabar dan memutuskan untuk mengeksekusi pak RT. Sungguh tragis.

Dari Lhokseumawe ada lagi berita tentang bom rakitan yang dilemparkan 2 lelaki pengendara sepeda motor. Bom yang dilemparkan di daerah pertokoan di tengah malam ini melukai seorang lelaki yang berada di sekitar lokasi. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.

Program yang kami laksanakan (membangun patisipasi masyarakat untuk membantu pembangunan pendidikan di sekolah/madrasah) sejak awal Februari mulai diterapkan di Aceh Utara. Staff kami yang bertugas di Kecamatan Paya Bakong melaporkan bahwa di daerah tersebut masih banyak ditemukan bom yang masih aktif, tergeletak di pinggir jalan. Tidak heran bila ada berita tentang korban ledakan bom dari kabupaten ini.

Mungkin orang bertanya, mengapa aku mau bekerja di daerah yang bahkan sebagian orang Aceh pun takut mendengarnya. Dulu selama 1,5 tahun aku bekerja di wilayah Kabupaten Pidie. Daerah yang dianggap basis GAM. Sekarang sudah sekitar 6 bulan aku bekerja di wilayah kabupaten Bireuen dan Aceh Utara. Daerah yang juga pernah mengalami konflik yang berkepanjangan. Selama 2 tahun berada di Aceh, aku merasa aman. Walaupun berita tentang penculikan, penembakan, perampokan atau pemboman; masih selalu dapat dibaca di koran-koran lokal, aku tetap merasa aman. Karena secara umum, kondisi memang aman. Hampir seluruh kejadian penculikan, penembakan atau pemboman;dilakukan tidak secara random. Kegiatan masyarakat pun secara umum berlangsung normal.

Hal lain yang membuatku betah bekerja dengan masyarakat Aceh adalah karena mereka sangat jujur dan terbuka. Jujur dan berani bicara apa adanya. Mungkin terdengar keras bagi masyarakat di Jawa, tetapi menurutku orang Aceh lebih jujur. Mereka tidak biasa dengan euphimisme. Menghaluskan kata yang bisa berdampak pada "melemahkan" arti pesan yang ingin disampaikan. Kritik pada Sang Gubernur adalah salah satu contohnya. Tidak ada satu pun pihak yang mencoba membenarkan apa yang dilakukan sang Gubernur. Masyarakat Aceh pun terbuka pada kritik. Tentu saja ini secara umum. Para birokrat umumnya masih "tegang" bila menerima kritik. Tapi di tingkat bawah, sekolah dan masyarakat misalnya, mereka sangat terbuka terhadap kritik dan masukan konstruktif. Mereka juga memiliki keinginan yang sangat kuat untuk berubah kearah yang lebih baik. They are eager to learn. Dari pengalaman bertemu dan bekerja bersama masyarakat di sejumlah kecamatan, dapat dibaca kesadaran dan keinginan mereka untuk membangun generasi yang lebih baik. Bahkan KPA pun yang anggotanya adalah mantan kombatan GAM, mendukung penuh program kami ketika mengetahui bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Mereka bahkan bisa menerima bahwa dalam implementasi program kami tidak dikenal adanya Pajak Nangroe. Program kami tidak memberikan toleransi bagi adanya pajak untuk siapapun. Program yang berada di bawah kemitraan Australia - Indonesia ini, saat ini mungkin merupakan satu-satunya program yang memberikan Dana Hibah untuk masyarakat yang tidak menyediakan dana untuk Pajak Nangroe. Dan alhamdulillah, pengurus dan anggota KPA bisa memahami hal ini.

Kesimpulan yang bisa kuambil adalah bahwa orang Aceh sangat mengerti tentang pentingnya pembangunan pendidikan. Mereka juga dapat memahami dan menerima alasan tentang kebijakan yang kami ambil, misalnya tentang Zero Tolerance untuk pajak Nangroe. Bahkan prinsip demokrasi, tranparansi dan akuntabilitas yang kami tanamkan melalui program pembangunan masyarakat untuk pendidikan; diterima dengan sangat baik. Siang tadi di SDN 15 Simpang Mamplam, Pak Amir Ketua PPS (Panitia Pengembangan Sekolah) yang berasal dari unsyur masyarakat mengatakan bahwa dengan adanya program CEPA (Communities and Education Program in Aceh), saat ini paling tidak 50 % dari penduduk desa mengetahui dan membantu upaya pembangunan pendidikan di sekolah. "Dulu masyarakat tidak dekat dengan sekolah. Sekarang ini sedikitnya 50 % dari penduduk desa mengetahui dan mendukung apa yang sedang dilakukan di sekolah".

Beberapa good stories dari lapangan juga menunjukkan cukup banyak perubahan. Praktik untuk menjalankan demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam program CEPA, sudah diadopsi oleh masyarakat di kecamatan binaan. Pola pemilihan PPS sudah diadopsi dalam pemilihan Geuchik (Kepala Desa) di sejumlah desa di kecamatan binaan. Masyarakat sudah mulai menjalankan peran kontrol terhadap manajemen sekolah sejalan dengan pemahaman mereka tentang peran serta masyarakat dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah. Di tingkat kabupaten, juga terlihat semangat untuk melakukan perubahan. Majelis Pendidikan Daerah (MPD) atau Dewan Pendidikan sebutannya di propinsi lain, bertekad untuk menjadi institusi yang benar-benar mampu berperan dalam mewarnai kebijakan yang lebih berpihak kepada kebutuhan dan aspirasi masyarakat. DPRK juga telah bertekad untuk lebih berperan dalam mendukung legitimasi dan fungsi peran MPD, bahkan juga dalam menyediakan dana pendamping untuk menjamin keberlanjutan dan penyebarluasan program ke kecamatan lain.

Apa yang sudah dicapai, bukanlah hal yang dapat dianggap kecil. Tapi bagaimanapun perjalanan masih panjang dan tekad atau komitmen harus diwujudkan dalam perbuatan. Kami masih berusaha bekerja bersama untuk mewujudkan agar komitmen yang telah ada dapat diwujudkan dalam tindakan yang lebih nyata. Semoga !