Yth pak Muzakir,
saya ingin berbagi sedikit mengenai pengalaman dalam membangun kapasitas dan juga komitmen pemerintah daerah dalam implementasi PAKEM.
Benar sekali apa yang dikatakan pak Sofyan Gani bahwa telah banyak donor yang membantu pemerintah daerah dan pusat dalam membangun kemampuan guru dalam menerapkan MBS dan PAKEM sebagai salah satu pilar yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pembelajaran. Yang menurut saya penting selain pelatihan untuk membekali dan meningkatkan kemampuan .guru dalam PAKEM, adalah pendampingan serta monitoring oleh pengawas sekolah/madrasah. Karena itu pengawas sekolah/madrasah juga harus mendapatkan pelatihan mengenai PAKEM dan teknik pendampingannya. Setiap guru yang telah mendapatkan pelatihan PAKEM perlu mendapatkan pendampingan untuk menjamin mereka dapat mengatasi permasalahan dan kesulitan dalam penerapan PAKEM di kelas. Para pelatih/fasilitator kabupaten dan pengawas sekolah/madrasah memberikan pendampingan ke sekolah melalui kegiatan on the job training. Melalui kegiatan ini kepala sekolah, seluruh guru dan perwakilan Komite Sekolah juga perlu dilibatkan agar penerapan PAKEM di sekolah/madrasah mendapat dukungan secara menyeluruh dari komunitas sekolah. Beberapa gugus binaan program CEPA di Aceh Utara bahkan menggunakan sebagian dana BOS untuk mendanai kegiatan on the job training ini dan juga kegiatan pertemuan KKG. Melalui cara ini para guru terlatih dapat berbagi pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya kepada guru lain sehingga tidak ada lagi alasan adanya guru yang tidak menerapkan PAKEM karena tidak sempat mengikuti pelatihan.
Hal kedua yang menurut saya penting adalah dukungan dari Dinas Pendidikan/Kantor Departemen Agama setempat. Dalam pelaksanaan program CEPA di Kabupaten Bireuen dan Aceh Utara, Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama menerbitkan surat edaran yang menginstruksikan agar para guru di seluruh madrasah/sekolah menerapkan PAKEM. Hal ini penting mengingat saat ini para guru kita masih berorientasi pada "perintah/instruksi". Saya juga sempat mendengar contoh baik dari beberapa UPTD yang berinisiatif mengadakan pemilihan guru PAKEM (setiap semester). Hal ini cukup ampuh dalam memotivasi guru untuk menerapkan PAKEM secara sungguh-sungguh. Dinas Pendidikan di Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen juga sudah mengalokasikan dana pendidikan khusus untuk mengaktifkan kembali KKG, melaksanakan on the job training, dan pelatihan guru dengan memanfaatkan pelatih kabupaten yang telah dilatih melalui program bantuan donor.
Hal ketiga adalah monitoring dan supervisi dari pengawas sekolah/madrasah. Harus diakui bahwa masih banyak pengawas sekolah yang cenderung terfokus pada hal administratif. Monitoring dan supervisi pengawas perlu secara terpadu diarahkan pada ketiga pilar MBS : manajemen sekolah yang partisipatif, transparan dan akuntabel; pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan; serta partisipasi masyarakat untuk mendukung kegiatan sekolah (komite sekolah). Hasil monitoring ini perlu disampaikan kepada guru, kepala sekolah dan komite sekolah untuk ditindaklanjuti dengan upaya yang relevan; dan akan menjadi bahan supervisi berikutnya.
'
Walaupun isyu ini tidak disampaikan oleh pak Muzakir, saya ingin menyampaikan keprihatinan karena ketika MBS dan PAKEM-nya sudah didiseminasikan dan diinstruksikan untuk dilaksanakan di sekolah dasar, banyak informasi dari teman guru dan kepala sekolah yang berpindah tugas ke sekolah menengah yang menyatakan bahwa MBS dan PAKEM belum diterapkan di tingkat sekolah menengah. Bila ini terus terjadi maka para siswa lulusan sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah yang sudah terbangun motivasi dan kreativitasnya akan mengalami kesulitan dan mungkin kejenuhan dan kekecewaan manakala di sekolah menengah mereka kembali harus menghadapi pembelajaran dengan pola tradisional.
Demikian pak Muzakir, semoga ada manfaatnya.
Salam,
Krishna
mumblog
I want to share my thought and experiences with my own children and grandchildren. Hopefuly there is something good and important for them to know. With my work as education consultant who stayed mostly far away from them, I believe that I should write something to provide a quite comprehensive information or sometimes I also need to remind and or to be reminded.
Thursday, November 26, 2009
Monday, November 16, 2009
Surat untuk ibu Mimi
Dear Ibu Mimi,
Secara khusus saya belum memiliki pengalaman mengenai isyu yang ibu kemukakan. Sekalipun demikian saya ingin menyampaikan pandangan saya berdasarkan sedikit pengalaman saya dalam rangka penyadaran dalam bidang pendidikan, mudah-mudahan ada manfaatnya.
Bagaimana mengubah pola pikir/cara pandang masyarakat (mindset) agar bisa menerima hak-hak para penyandang cacat dalam ruang publik?
Untuk mengubah pola pikir atau cara pandang masyarakat mengenai hak penyandang cacat memang memerlukan usaha yang serius. Untuk bisa mengarusutamakan hak penyandang cacat di ruang publik hal pertama yang harus ada adalah political will dari para pembuat kebijakan secara lintas sektor. Hanya dengan adanya kehendak politis dari para pembuat kebijakan inilah kita bisa membuka cara pandang masyarakat tentang hak penyandang cacat melalui publikasi, sosialisasi dan advokasi.
Mengapa pembuat kebijakan di lintas sektor penting memiliki pemahaman yang utuh dan kesadaran tentang hak penyandang cacat ? Mari kita lihat pengalaman di negara lain sebagai contoh. Hak penyandang cacat sudah diakomodasi dalam berbagai sektor. Semua fasilitas umum diharuskan menyediakan sarana untuk memudahkan akses penyandang cacat. Bahkan jalan-jalan di kampus atau kompleks fasilitas umum juga menyediakan path way khusus untuk penyandang cacat netra. Sementara di kampus-kampus kita, bahkan di UPI yang membuka jurusan PLB (pendidikan luar biasa) pun, tidak disediakan jalur khusus untuk memudahkan akses peserta didik tuna netra. Hal ini merupakan indikasi bahwa kesadaran untuk memunculkan political will itu belum ada, bahkan di kalangan pendidik atau manajer pendidikan itu sendiri.
Khususnya dan menyadarkan keinginan Mainstreaming Penempatan siswa di kelas reguler akan membuat mereka memiliki lingkungan belajar yang lebih baik, lebih dapat diterima oleh teman mereka yang normal (tidak cacat), dan menjadi lebih mandiri. Pengarusutamaan juga memberikan system pembelajaran yang lebih adaptif bagi individu anak.
Langkah penting pertama yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran mengenai hak penyandang cacat khususnya pada tingkat pembuat kebijakan dan masyarakat (komunitas) sekolah. Pola pikir dan cara pandang pembuat kebijakan yang sesuai mengenai hak penyandang cacat ini diperlukan agar pengarusutamaan disabilitas mendapat perhatian dan menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan Rencana Strategis Pendidikan di tingkat propinsi maupun kabupaten. Hal ini penting terutama karena pengarusutamaan disabilitas memerlukan strategi dan pendekatan yang komprehensif dan integratif. Di tingkat pembuat kebijakan kelompok sasaran yang strategis adalah Dinas Pendidikan, Kantor Departemen Agama, DPRD, BAPPEDA dan Dewan Pendidikan atau Majelis Pendidikan Daerah (MPD). Upaya penyadaran juga perlu dilakukan pada masyarakat sekolah, termasuk didalamnya kepala sekolah, guru, siswa serta wali murid yang diwadahi dalam organisasi komite sekolah. Masyarakat sekolah merupakan target penting karena siswa penyandang cacat akan berada di lingkungan ini dan kesadaran serta pola pikir masyarakat sekolah ini akan mempengaruhi keberhasilan belajar siswa penyandang cacat melalui penciptaan lingkungan yang kondusif baik di dalam maupun di luar ruang kelas.
Dalam usaha mengubah pola pikir dan cara pandang mengenai hak penyandang cacat, khususnya dalam pengarusutamaan disabilitas, dapat kita sajikan argument yang mendukung pengarusutamaan maupun yang menentangnya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya setiap manusia akan menerima (mengadopsi) suatu pola pikir bila mereka mengetahui keuntungan atau kemanfaatkan dari konsep yang kita tawarkan.
Data mengenai jumlah dan sebaran siswa cacat juga perlu disajikan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi karena khususnya di tingkat masyarakat sekolah masih ditemukan banyak masyarakat sekolah yang berargumen bahwa di lingkungan sekitar sekolah tidak terdapat anak cacat sehingga sekolah tidak perlu melakukan tindakan antisipasi (misalnya : menyiapkan ramp untuk memudahkan akses bagi anak cacat, toilet khusus untuk siswa cacat, dll).
Strategi apa yang dapat diterapkan untuk mengarusutamakan disabilitas ke dalam sistem pendidikan kita?
Strategi pertama adalah menjamin bahwa pengarusutamaan disabilitas masuk ke dalam Rencana Strategis Pendidikan. Hanya dengan masuk ke dalam Renstra Pendidikan maka pengarusutamaan disabilitas bisa didekati secara komprehensif dan terpadu integrated). Telah sama kita ketahui bahwa pengarusutamaan disabilitas hanya bisa berhasil bila didukung oleh kebijakan dan aturan yang kuat, pengembangan kapasitas (capacity building) yang memadai, penyediaan tenaga dan bantuan teknis dan konsultasi dari tim ahli, serta penyediaan sarana dan fasilitas yang sesuai.
Pengarusutamaan disabilitas juga harus meliputi penjaminan dilakukannya deteksi dini, intervensi, layanan terapetik, dan penyediaan alat bantu untuk anak/siswa cacat. Untuk memfasilitasi pengarusutamaan disabilitas pada sekolah formal maupun non-formal perlu juga dilakukan penguatan kapasitas guru dan pengawas sekolah serta pelatih/fasilitator kabupaten dan propinsi.
Hambatan terhadap pengarusutamaan disabilitas juga kadang muncul dari kalangan orangtua siswa. Orangtua siswa cacat terkadang ragu atau khawatir untuk memasukkan anaknya ke sekolah karena biaya (cost) yang mereka keluarkan tidak akan sebanding dengan nilai manfaat yang akan mereka terima kelak (return). Sementara banyak orangtua siswa normal (non-disabled) yang berfikir bahwa adanya siswa cacat dikelas anak mereka hanya akan merugikan anak mereka (missal : kurang mendapat perhatian guru karena guru terserap waktu dan perhatiannya untuk siswa yang cacat, dsb). Dalam hal ini maka Komite Sekolah di tingkat komunitas sekolah dan Dewan Pendidikan atau Majelis Pendidikan Daerah di tingkat kabupaten bertanggung jawab dalam upaya penyadaran masyarakat ini.
Penelitian yang dilakukan UNICEF Regional Asia Selatan di Bangladesh menunjukkan tingginya anak penyandang cacat yang tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah karena kemiskinan (tingginya biaya untuk menyekolahkan anak penyandang cacat yang tidak sebanding dengan apa yang dapat dihasilkannya kelak di pasar kerja). Penelitian juga menunjukkan tingginya angka drop out siswa penyandang cacat, karena sikap dan lingkungan yang tidak ramah (unfriendly) baik di rumah maupun sekolah. Siswa penyandang cacat kerap mendapat perlakuan yang kurang layak dari teman-temanya, dan kebanyakan guru dan pengelola di sekolah juga tidak terlalu memahami ide tentang pendidikan inklusif. Selain itu infrastruktur sekolah juga seringkali tidak ramah (unfriendly) dilihat dari sisi mobilitas siswa. Banyak sekolah misalnya yang tidak memiliki ramp (akses berupa jalan yang landai) yang dapat dilalui kursi roda. Pintu ruang kelas pun tidak cukup lebar untuk bisa dilalui kursi roda. Pengelolaan kelas atau pengaturan perabot di ruang kelas kurang mempertimbangkan kebutuhan anak cacat. Belum lagi toilet yang disediakan khusus untuk anak cacat.
Dari uraian di atas jelas bahwa strategi pengarusutamaan disabilitas harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.
• Kebijakan dan aturan yang menegaskan kewajiban dan tanggung jawab sekolah untuk menerima dan melayani siswa cacat
• Aturan tentang standar bangunan dan fasilitas sekolah yang responsif terhadap kebutuhan anak/siswa cacat. Saat ini sedikit sekali sekolah yang memiliki ramp (jalan yang landai) untuk memudahkan akses siswa yang menggunakan kursi roda. Belum lagi lebar pintu ruang kelas yang terlalu sempit untuk dapat dilalui oleh kursi roda, serta toilet yang dibangun tanpa memperhatikan kebutuhan siswa penyandang cacat.
• Sistem pre-service dan in-service training bagi guru reguler dalam teknik memfasilitasi siswa cacat. Para guru perlu mendapatkan orientasi mengenai berbagai kecacatan pada siswa dan pelatihan dasar (basic training) tentang bentuk komunikasi bagi siswa tuna rungu dan tuna netra. Para guru juga perlu dilatih dalam metoda mengajar untuk memfasilitasi siswa cacat karena metoda mengajar tradisional sangat terbatas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa yang tentunya berbeda. Selain itu kebutuhan akan alat dan bahan belajar pun berbeda bagi siswa penyandang cacat.
• Dukungan berbasis sekolah. Sekolah dapat membentuk tiga jenis tim pendukung. Tim pertama adalah untuk menjamin siswa cacat hadir di sekolah secara reguler. Tim ini terutama bertugas memberikan dukungan moral bagi keluarga-keluarga yang memiliki siswa cacat, mengorganisasikan interaksi diantara mereka dan menjaminj bahwa anak-anak mereka hadir secara reguler di sekolah. Tim pertama bisa dibentuk dari para orangtua siswa di bawah tanggung jawab komite sekolah. Tim kedua terdiri dari para guru yang sebelumnya telah dilatih mengenai pendidikan inklusif. Tim ini bertanggung jawab untuk memberikan orientasi kepada guru baru dan para siswa tentang isyu disabilitas. Tim ketiga terdiri dari para siswa yang dipilih berdasarkan minat, kesediaan dan kesukarelaan mereka dalam membantu siswa cacat. Tugas utama mereka adalah membantu siswa cacat dalam kegiatan di ruang kelas maupun area bermain. Mereka juga diharapkan dapat mengunjungi rumah siswa cacat bila dalam beberapa hari siswa tersebut tidak masuk sekolah.
• Supervisi dan monitoring. Supervisi program pendidikan inklusif perlu dilakukan pada berbagai tingkatan, di dalam dan di luar sekolah. Kepala sekolah melakukan supervisi terhadap kegiatan yang dilakukan di sekolah. Pengawas sekolah dan kepala UPTD melakukan supervisi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan disabilitas di tingkat gugus dan kecamatan, sementara Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama (seksi Mapenda) melakukan supervisi untuk tingkat kabupaten
Bagaimana memasukkan pemajuan tentang pemahaman disabilitas ke dalam pelajaran di sekolah-sekolah yang dapat memperkuat prinsip "Bhineka Tunggal Ika" dalam sistem pendidikan kita
Menurut saya memasukkan pemahaman tentang adanya siswa yang berbeda (berkebutuhan khusus) tidak perlu selalu dilakukan dengan mengintegrasikan kedalam pelajaran, walaupun tentu saja sebaiknya siswa (non disabled) lebih dulu perlu diberi orientasi mengenai anak berkebutuhan khusus atau cacat. Dengan melibatkan siswa secara aktif ke dalam kegiatan tim sekolah untuk mendukung anak berkebutuhan khusus, mereka bukan hanya akan memiliki pemahaman mengenai hal itu melainkan juga kemampuan dalam membangun hubungan sosial yang positif dengan berbagai ragam kelompok social. Kemampuan yang kelak akan dibutuhkan dan sangat penting untuk keberhasilannya dalam kehidupan di lingkungan kerja, keluarga maupun masyarakat. Selain itu siswa juga akan meningkat self-esteem-nya, perilakunya tidak diskriminatif , keterampilan interpersonalnya meningkat (misalnya: berkolaborasi, kerjasama, dll), dan memiliki perilaku sosial yang positif (ramah, rendah hati, dll).
Penyediaan fasilitas dan atau pengelolaan ruang kelas yang responsif terhadap siswa berkebutuhan khusus secara tidak langsung juga akan membangun pemahaman dan kesadaran siswa non-disabled mengenai karakteristik dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
Secara khusus saya belum memiliki pengalaman mengenai isyu yang ibu kemukakan. Sekalipun demikian saya ingin menyampaikan pandangan saya berdasarkan sedikit pengalaman saya dalam rangka penyadaran dalam bidang pendidikan, mudah-mudahan ada manfaatnya.
Bagaimana mengubah pola pikir/cara pandang masyarakat (mindset) agar bisa menerima hak-hak para penyandang cacat dalam ruang publik?
Untuk mengubah pola pikir atau cara pandang masyarakat mengenai hak penyandang cacat memang memerlukan usaha yang serius. Untuk bisa mengarusutamakan hak penyandang cacat di ruang publik hal pertama yang harus ada adalah political will dari para pembuat kebijakan secara lintas sektor. Hanya dengan adanya kehendak politis dari para pembuat kebijakan inilah kita bisa membuka cara pandang masyarakat tentang hak penyandang cacat melalui publikasi, sosialisasi dan advokasi.
Mengapa pembuat kebijakan di lintas sektor penting memiliki pemahaman yang utuh dan kesadaran tentang hak penyandang cacat ? Mari kita lihat pengalaman di negara lain sebagai contoh. Hak penyandang cacat sudah diakomodasi dalam berbagai sektor. Semua fasilitas umum diharuskan menyediakan sarana untuk memudahkan akses penyandang cacat. Bahkan jalan-jalan di kampus atau kompleks fasilitas umum juga menyediakan path way khusus untuk penyandang cacat netra. Sementara di kampus-kampus kita, bahkan di UPI yang membuka jurusan PLB (pendidikan luar biasa) pun, tidak disediakan jalur khusus untuk memudahkan akses peserta didik tuna netra. Hal ini merupakan indikasi bahwa kesadaran untuk memunculkan political will itu belum ada, bahkan di kalangan pendidik atau manajer pendidikan itu sendiri.
Khususnya dan menyadarkan keinginan Mainstreaming Penempatan siswa di kelas reguler akan membuat mereka memiliki lingkungan belajar yang lebih baik, lebih dapat diterima oleh teman mereka yang normal (tidak cacat), dan menjadi lebih mandiri. Pengarusutamaan juga memberikan system pembelajaran yang lebih adaptif bagi individu anak.
Langkah penting pertama yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran mengenai hak penyandang cacat khususnya pada tingkat pembuat kebijakan dan masyarakat (komunitas) sekolah. Pola pikir dan cara pandang pembuat kebijakan yang sesuai mengenai hak penyandang cacat ini diperlukan agar pengarusutamaan disabilitas mendapat perhatian dan menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan Rencana Strategis Pendidikan di tingkat propinsi maupun kabupaten. Hal ini penting terutama karena pengarusutamaan disabilitas memerlukan strategi dan pendekatan yang komprehensif dan integratif. Di tingkat pembuat kebijakan kelompok sasaran yang strategis adalah Dinas Pendidikan, Kantor Departemen Agama, DPRD, BAPPEDA dan Dewan Pendidikan atau Majelis Pendidikan Daerah (MPD). Upaya penyadaran juga perlu dilakukan pada masyarakat sekolah, termasuk didalamnya kepala sekolah, guru, siswa serta wali murid yang diwadahi dalam organisasi komite sekolah. Masyarakat sekolah merupakan target penting karena siswa penyandang cacat akan berada di lingkungan ini dan kesadaran serta pola pikir masyarakat sekolah ini akan mempengaruhi keberhasilan belajar siswa penyandang cacat melalui penciptaan lingkungan yang kondusif baik di dalam maupun di luar ruang kelas.
Dalam usaha mengubah pola pikir dan cara pandang mengenai hak penyandang cacat, khususnya dalam pengarusutamaan disabilitas, dapat kita sajikan argument yang mendukung pengarusutamaan maupun yang menentangnya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya setiap manusia akan menerima (mengadopsi) suatu pola pikir bila mereka mengetahui keuntungan atau kemanfaatkan dari konsep yang kita tawarkan.
Data mengenai jumlah dan sebaran siswa cacat juga perlu disajikan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi karena khususnya di tingkat masyarakat sekolah masih ditemukan banyak masyarakat sekolah yang berargumen bahwa di lingkungan sekitar sekolah tidak terdapat anak cacat sehingga sekolah tidak perlu melakukan tindakan antisipasi (misalnya : menyiapkan ramp untuk memudahkan akses bagi anak cacat, toilet khusus untuk siswa cacat, dll).
Strategi apa yang dapat diterapkan untuk mengarusutamakan disabilitas ke dalam sistem pendidikan kita?
Strategi pertama adalah menjamin bahwa pengarusutamaan disabilitas masuk ke dalam Rencana Strategis Pendidikan. Hanya dengan masuk ke dalam Renstra Pendidikan maka pengarusutamaan disabilitas bisa didekati secara komprehensif dan terpadu integrated). Telah sama kita ketahui bahwa pengarusutamaan disabilitas hanya bisa berhasil bila didukung oleh kebijakan dan aturan yang kuat, pengembangan kapasitas (capacity building) yang memadai, penyediaan tenaga dan bantuan teknis dan konsultasi dari tim ahli, serta penyediaan sarana dan fasilitas yang sesuai.
Pengarusutamaan disabilitas juga harus meliputi penjaminan dilakukannya deteksi dini, intervensi, layanan terapetik, dan penyediaan alat bantu untuk anak/siswa cacat. Untuk memfasilitasi pengarusutamaan disabilitas pada sekolah formal maupun non-formal perlu juga dilakukan penguatan kapasitas guru dan pengawas sekolah serta pelatih/fasilitator kabupaten dan propinsi.
Hambatan terhadap pengarusutamaan disabilitas juga kadang muncul dari kalangan orangtua siswa. Orangtua siswa cacat terkadang ragu atau khawatir untuk memasukkan anaknya ke sekolah karena biaya (cost) yang mereka keluarkan tidak akan sebanding dengan nilai manfaat yang akan mereka terima kelak (return). Sementara banyak orangtua siswa normal (non-disabled) yang berfikir bahwa adanya siswa cacat dikelas anak mereka hanya akan merugikan anak mereka (missal : kurang mendapat perhatian guru karena guru terserap waktu dan perhatiannya untuk siswa yang cacat, dsb). Dalam hal ini maka Komite Sekolah di tingkat komunitas sekolah dan Dewan Pendidikan atau Majelis Pendidikan Daerah di tingkat kabupaten bertanggung jawab dalam upaya penyadaran masyarakat ini.
Penelitian yang dilakukan UNICEF Regional Asia Selatan di Bangladesh menunjukkan tingginya anak penyandang cacat yang tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah karena kemiskinan (tingginya biaya untuk menyekolahkan anak penyandang cacat yang tidak sebanding dengan apa yang dapat dihasilkannya kelak di pasar kerja). Penelitian juga menunjukkan tingginya angka drop out siswa penyandang cacat, karena sikap dan lingkungan yang tidak ramah (unfriendly) baik di rumah maupun sekolah. Siswa penyandang cacat kerap mendapat perlakuan yang kurang layak dari teman-temanya, dan kebanyakan guru dan pengelola di sekolah juga tidak terlalu memahami ide tentang pendidikan inklusif. Selain itu infrastruktur sekolah juga seringkali tidak ramah (unfriendly) dilihat dari sisi mobilitas siswa. Banyak sekolah misalnya yang tidak memiliki ramp (akses berupa jalan yang landai) yang dapat dilalui kursi roda. Pintu ruang kelas pun tidak cukup lebar untuk bisa dilalui kursi roda. Pengelolaan kelas atau pengaturan perabot di ruang kelas kurang mempertimbangkan kebutuhan anak cacat. Belum lagi toilet yang disediakan khusus untuk anak cacat.
Dari uraian di atas jelas bahwa strategi pengarusutamaan disabilitas harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.
• Kebijakan dan aturan yang menegaskan kewajiban dan tanggung jawab sekolah untuk menerima dan melayani siswa cacat
• Aturan tentang standar bangunan dan fasilitas sekolah yang responsif terhadap kebutuhan anak/siswa cacat. Saat ini sedikit sekali sekolah yang memiliki ramp (jalan yang landai) untuk memudahkan akses siswa yang menggunakan kursi roda. Belum lagi lebar pintu ruang kelas yang terlalu sempit untuk dapat dilalui oleh kursi roda, serta toilet yang dibangun tanpa memperhatikan kebutuhan siswa penyandang cacat.
• Sistem pre-service dan in-service training bagi guru reguler dalam teknik memfasilitasi siswa cacat. Para guru perlu mendapatkan orientasi mengenai berbagai kecacatan pada siswa dan pelatihan dasar (basic training) tentang bentuk komunikasi bagi siswa tuna rungu dan tuna netra. Para guru juga perlu dilatih dalam metoda mengajar untuk memfasilitasi siswa cacat karena metoda mengajar tradisional sangat terbatas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa yang tentunya berbeda. Selain itu kebutuhan akan alat dan bahan belajar pun berbeda bagi siswa penyandang cacat.
• Dukungan berbasis sekolah. Sekolah dapat membentuk tiga jenis tim pendukung. Tim pertama adalah untuk menjamin siswa cacat hadir di sekolah secara reguler. Tim ini terutama bertugas memberikan dukungan moral bagi keluarga-keluarga yang memiliki siswa cacat, mengorganisasikan interaksi diantara mereka dan menjaminj bahwa anak-anak mereka hadir secara reguler di sekolah. Tim pertama bisa dibentuk dari para orangtua siswa di bawah tanggung jawab komite sekolah. Tim kedua terdiri dari para guru yang sebelumnya telah dilatih mengenai pendidikan inklusif. Tim ini bertanggung jawab untuk memberikan orientasi kepada guru baru dan para siswa tentang isyu disabilitas. Tim ketiga terdiri dari para siswa yang dipilih berdasarkan minat, kesediaan dan kesukarelaan mereka dalam membantu siswa cacat. Tugas utama mereka adalah membantu siswa cacat dalam kegiatan di ruang kelas maupun area bermain. Mereka juga diharapkan dapat mengunjungi rumah siswa cacat bila dalam beberapa hari siswa tersebut tidak masuk sekolah.
• Supervisi dan monitoring. Supervisi program pendidikan inklusif perlu dilakukan pada berbagai tingkatan, di dalam dan di luar sekolah. Kepala sekolah melakukan supervisi terhadap kegiatan yang dilakukan di sekolah. Pengawas sekolah dan kepala UPTD melakukan supervisi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan disabilitas di tingkat gugus dan kecamatan, sementara Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama (seksi Mapenda) melakukan supervisi untuk tingkat kabupaten
Bagaimana memasukkan pemajuan tentang pemahaman disabilitas ke dalam pelajaran di sekolah-sekolah yang dapat memperkuat prinsip "Bhineka Tunggal Ika" dalam sistem pendidikan kita
Menurut saya memasukkan pemahaman tentang adanya siswa yang berbeda (berkebutuhan khusus) tidak perlu selalu dilakukan dengan mengintegrasikan kedalam pelajaran, walaupun tentu saja sebaiknya siswa (non disabled) lebih dulu perlu diberi orientasi mengenai anak berkebutuhan khusus atau cacat. Dengan melibatkan siswa secara aktif ke dalam kegiatan tim sekolah untuk mendukung anak berkebutuhan khusus, mereka bukan hanya akan memiliki pemahaman mengenai hal itu melainkan juga kemampuan dalam membangun hubungan sosial yang positif dengan berbagai ragam kelompok social. Kemampuan yang kelak akan dibutuhkan dan sangat penting untuk keberhasilannya dalam kehidupan di lingkungan kerja, keluarga maupun masyarakat. Selain itu siswa juga akan meningkat self-esteem-nya, perilakunya tidak diskriminatif , keterampilan interpersonalnya meningkat (misalnya: berkolaborasi, kerjasama, dll), dan memiliki perilaku sosial yang positif (ramah, rendah hati, dll).
Penyediaan fasilitas dan atau pengelolaan ruang kelas yang responsif terhadap siswa berkebutuhan khusus secara tidak langsung juga akan membangun pemahaman dan kesadaran siswa non-disabled mengenai karakteristik dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
Monday, October 19, 2009
Qanun MPD Aceh Utara
Menurut pengakuan pengurus MPD dari Kabupaten Bireuen, Aceh Utara dan Pidie Jaya, lokakarya MPD dan Komite Sekolah mengenai peran kedua lembaga tersebut dalam kancah pembangunan pendidikan seolah membangunkan kembali kesadaran mereka mengenai posisi dan peran penting kedua lembaga tersebut. Lokakarya yang dilakukan pada pertengahan 2008 itu kemudian ditindaklanjuti dengan reviu dan kemudian pengembangan petunjuk teknis komite sekolah. Selanjutnya bahkan MPD bersama pemangku kepentingan terkait menyusun Modul Pemberdayaan Komite Sekolah yang akan digunakan dalam pelatihan dan pendampingan bagi komite sekolah.
Semangat Majelis Pendidikan Daerah untuk mengaktualisasikan peran dan fungsinya diwujudkan dengan penyusunan Qanun tentang peran MPD. Apa yang dilakukan MPD ini juga mendapat respon positif dari Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama, bahkan oleh DPRK setempat. Tanggal 28 Agustus 2009 lalu melalui suatu rapat pembahasan DPRK Kabupaten Aceh Utara telah menyetujui dan mensahkan Qanun MPD tersebut.
Disahkannya Qanun MPD merupakan perkembangan penting karena bukan hanya memperkuat dasar hokum keberadaan MPD dan hubungan kelembagannya dengan komite sekolah, melainkan juga memperkuat MPD dengan wewenang dan sumber-sumber yang diperlukan PMD untuk bisa melakukan tugasnya secara lebih efektif dalam tata kelola pendidikan di kabupaten. Walaupun CEPA tidak terlibat langsung dengan proses legislasi, hubungan kerja yang erat dengan MPD dalam tata kelola pendidikan di tingkat kabupaten telah memainkan peranan penting dalam meningkatkan relevansi, kapasitas dan kredibilitas MPD dalam perannya yang strategis tersebut.
Semangat Majelis Pendidikan Daerah untuk mengaktualisasikan peran dan fungsinya diwujudkan dengan penyusunan Qanun tentang peran MPD. Apa yang dilakukan MPD ini juga mendapat respon positif dari Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama, bahkan oleh DPRK setempat. Tanggal 28 Agustus 2009 lalu melalui suatu rapat pembahasan DPRK Kabupaten Aceh Utara telah menyetujui dan mensahkan Qanun MPD tersebut.
Disahkannya Qanun MPD merupakan perkembangan penting karena bukan hanya memperkuat dasar hokum keberadaan MPD dan hubungan kelembagannya dengan komite sekolah, melainkan juga memperkuat MPD dengan wewenang dan sumber-sumber yang diperlukan PMD untuk bisa melakukan tugasnya secara lebih efektif dalam tata kelola pendidikan di kabupaten. Walaupun CEPA tidak terlibat langsung dengan proses legislasi, hubungan kerja yang erat dengan MPD dalam tata kelola pendidikan di tingkat kabupaten telah memainkan peranan penting dalam meningkatkan relevansi, kapasitas dan kredibilitas MPD dalam perannya yang strategis tersebut.
Pemilihan komite sekolah yang representatif
Walaupun Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 044/U/2002 tentang Komite Sekolah mengamanatkan prinsip tata kelola yang baik, namun dalam kenyataannya di lapangan kurang memberikan panduan praktis/teknis untuk penerapannya. Dalam banyak kasus pembentukan Komite Sekolah hanya dilakukan berdasarkan penunjukkan oleh kepala sekolah. Karena itulah maka adanya panduan atau petunjuk teknis dirasakan penting, karena bisa membantu menjamin diterapkannya praktek partisipasi dan akuntabilitas dalam prosesnya, yang sebaliknya juga berkontribusi terhadap munculnya kepercayaan pimpinan dan warga masyarakat khususnya pada masyarakat pasca konflik.
Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dari 3 kabupaten di Aceh (Bireuen, Aceh Utara dan Pidie Jaya) melalui serangkaian lokakarya telah berhasil menyusun Petunjuk Teknis Pemilihan Komite Sekolah. Karakteristik kunci dari Petunjuk Teknis ini meliputi :
• Proses pemilihan yang dilakukan secara transparan, inklusif dan berskala luas (broad based)
• Keterwakilan perempuan minimum 30 % dalam Komite Sekolah
• Verifikasi dan pengesahan Komite Sekolah oleh MPD untuk menjamin independensi proses pemilihan komite sekolah
Dengan menggunakan Petunjuk Teknis Pembentukan Komite Sekolah tersebut, MPD Kabupaten Bireuen telah memfasilitasi pemilihan dan pengesahan Komite Sekolah di 29 sekolah (25 SD dan 4 MIN) di 4 gugus di Kabupaten Bireuen. Di Kabupaten Aceh Utara, MPD juga sudah mensosialisasikan Petunjuk Teknis ini kepada seluruh UPTD dan perwakilan Komite Sekolah dan Kepala Sekolah dari seluruh jenjang pendidikan. Lebih jauh Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Bireuen dan Aceh Utara telah menerbitkan surat edaran yang menginstruksikan agar seluruh sekolah/madrasah (tingkat dasar sampai menengah) menggunakan petunjuk teknis tersebut dalam pelaksanaan pemilihan komite sekolah.
Dalam satu bulan terakhir (Oktober 2009) sejumlah sekolah (termasuk diantaranya satu SMA di kecamatan Muara Batu) telah melaksanakan pemilihan komite sekolah dengan menggunakan petunjuk teknis tersebut. Hasil pantauan terhadap pelaksanaan pemilihan komite sekolah di beberapa sekolah menunjukkan antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam prosesnya. Jumlah masyarakat yang hadir dalam pemilihan komite sekolah tercatat lebih dari 100 orang. Hal ini juga dapat dilihat sebagai antusiasme masyarakat terhadap keterbukaan sekolah.
Hasil pemilihan dan pembentukan Komite Sekolah di 4 gugus di kabupaten Bireuen mengacu kepada Petunjuk Teknis di atas telah menghasilkan perubahan yang signifikan pada komposisi Komite Sekolah. Perubahan terpenting adalah meningkatnya keterwakilan unsur masyarakat dan unsur perempuan dalam komite sekolah.
Petunjuk Teknis juga dilengkapi dengan Modul Pelatihan untuk memperkuat :
• Prinsip Pembentukan Komite Sekolah
• Peran dan Tanggung Jawab Komite Sekolah
• Administrasi dan Pelaporan Sederhana
• Aturan dan prosedur penyusunan AD/ART Komite Sekolah
CEPA juga telah berkontribusi dalam melakukan pelatihan bagi calon pelatih kabupaten untuk memfasilitasi pemilihan komite sekolah dan pemberdayaannya. Komite Sekolah tidak akan mampu melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif manakala tidak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang relevan seusai mereka terpilih. Untuk menjamin pembinaan yang berkelanjutan terhadap komite sekolah ini maka MPD perlu diperkuat dengan sejumlah pelatih kabupaten untuk memfasilitasi dan mendampingi komite sekolah. Forum Komite Sekolah perlu juga dibentuk dan difungsikan sebagai wadah dimana komite sekolah dalam satu kecamatan bisa saling belajar dan berbagi pengalaman.
Tak ada halangan untuk KKG
KKG atau Kelompok Kerja Guru yang diperkenalkan melalui program PEQIP (Primary Education Quality Improvement Project) beberapa dasawarsa lalu seakan mati suri. Mereka ada tetapi sebagian besar KKG di gugus-gugus tidak beroperasi sebagaimana yang diharapkan. Sebagian besar gugus mengaku hal itu dikarenakan ketiadaan biaya, sebagian lainnya beralasan karena ketersediaan tutor serta kemampuan mereka.
Untuk mengatasi ketiadaan biaya untuk pelaksanaan KKG, karena Dinas Pendidikan tidak lagi menyediakan dana untuk operasional KKG, di Gugus 4 Matangkuli (Paya Bakong) Kabupaten Aceh Utara 6 SDN dan 1 MIN beriuran menggunakan Dana BOS untuk kegiatan KKG dan KKKS. Jumlah total dana BOS yang dialokasikan untuk kedua kegiatan ini adalah Rp 18.930.000 (delapan belas juta sembilan ratus tiga puluh ribu rupiah) untuk membiayai 17 pertemuan KKG (uang transport peserta dan fee untuk tutor /nara sumber). Jumlah dana dan rencana penggunaannya disampaikan oleh Bapak Abdullah, Kepala SDN 1 Paya Bakong sebagai Kepala SD Inti. Program KKG dirancang bersama para guru dengan dampingan dari Kepala UPTD dan pengawas sekolah/madrasah untuk menjamin kesesuaiannya dengan kebutuhan praktis para guru di lapangan serta sasaran pembangunan pendidikan. Tutor untuk kegiatan KKG adalah alumni pelatihan PAKEM yang pada bulan sebelumnya telah diselenggarakan oleh CEPA.
Apa yang diungkapkan Kepala UPTD Matang Kuli Bapak Sarjan, SPd agar KKG bisa menjadi show room, workshop, bengkel,dan doorsmeer sungguh menarik. Maksudnya KKG harus menjadi ajang dimana para guru bisa memamerkan hasil karyanya berupa teknik dan metoda baru, media pengajaran yang praktis dan murah, dll. KKG harus menjadi tempat dimana para guru bisa bekerja dan belajar bersama untuk mengatasi masalah dalam pembelajaran siswa dan menghasilkan inovasi dalam pembelajaran. KKG harus mampu memperbaiki atau meningkatkan kinerja guru, mengubah keadaan guru dari tidak mampu menjadi lebih mampu. Dan KKG juga harus mampu mencuci dan membersihkan guru dari pandangan, sikap dan perilaku yang kurang tepat dalam posisi sebagai guru yang pada dasarnya adalah model yang seyogianya layak digugu (diikuti) dan ditiru (dicontoh). Ungkapan Kepala UPTD ini membumikan peran dan fungsi KKG sebagaimana diamanatkan sejak pencanangannya.
Pelaksanaan KKG di Gugus 1 Peusangan – Kabupaten Bireuen sudah mencerminkan kegiatan yang cukup baik. Para guru yang telah dilatih PAKEM menjadi tutor dalam pertemuan KKG. KKG menjadi tempat dimana guru dapat saling belajar, menciptakan dan mencobakan alat dan metoda baru, meningkatkan semangat kerjasama sekaligus semangat untuk berkompetisi. Melalui KKG apa yang diperoleh guru dalam pelatihan, dapat dibagikan kepada guru lain yang tidak memiliki kesempatan mengikuti pelatihan. Melalui KKG para guru dapat bersama-sama memikirkan bagaimana cara terbaik untuk mengatasi kesulitan dalam mengelola pembelajaran.
Saturday, May 30, 2009
Kehilangan
Kita tak pernah tahu atau pun mengerti apa rencana Tuhan. Dalam 2 minggu terakhir, dua kakak iparku dipanggil Tuhan. Bagiku, kakak ipar adalah kakakku juga. Mereka memperlakukan dan menyayangiku seperti adik kandungnya, demikian juga aku menyayangi mereka seperti kakak kandungku.
Aku tahu, Tuhan melakukan apa yang terbaik bagi mereka. Sudah saatnya mereka dipanggil pulang. Sudah cukup mereka melakukan tugas dan tanggung jawabnya bagi keluarga mereka, dengan cara yang terbaik. They were loving fathers and husbands. Bagaimanapun, kehilangan itu tetap terasa. Terlebih karena aku tak dapat berkumpul bersama keluarga, tak dapat menghibur anak-anak mereka yang pastinya paling merasa kehilangan.
Hanya kepadaMu ya Allah aku meminta, jaga dan peliharalah keluarga yang ditinggalkan. Bagimu yang Maha Segalanya, jarak bukanlah masalah. Tak ada yang tak mungkin bagiMu.
Bila saatnya tiba, semoga aku pun bisa dikenang semua orang secara baik. Kehilangan hanya terasa bila kita ditinggalkan oleh orang yang baik. Kekayaan, kepandaian, tak cukup untuk membuat kita dikenang orang.
Aku tahu, Tuhan melakukan apa yang terbaik bagi mereka. Sudah saatnya mereka dipanggil pulang. Sudah cukup mereka melakukan tugas dan tanggung jawabnya bagi keluarga mereka, dengan cara yang terbaik. They were loving fathers and husbands. Bagaimanapun, kehilangan itu tetap terasa. Terlebih karena aku tak dapat berkumpul bersama keluarga, tak dapat menghibur anak-anak mereka yang pastinya paling merasa kehilangan.
Hanya kepadaMu ya Allah aku meminta, jaga dan peliharalah keluarga yang ditinggalkan. Bagimu yang Maha Segalanya, jarak bukanlah masalah. Tak ada yang tak mungkin bagiMu.
Bila saatnya tiba, semoga aku pun bisa dikenang semua orang secara baik. Kehilangan hanya terasa bila kita ditinggalkan oleh orang yang baik. Kekayaan, kepandaian, tak cukup untuk membuat kita dikenang orang.
Monday, May 04, 2009
Astrology
If someone offers to cut corners for you today, don't take them up on it. Be honest. Try to tackle a big new project -- even if you don't have anything planned. It's a good time for you to move out in a new direction or to show someone close to you what you are capable of.
Percayakah anda pada ramalan bintang? Saya tak tahu bagaimana benarnya, apakah boleh kita percaya pada ramalan bintang? Sejauh ini saya tak terlalu gemar membaca ramalan bintang, selain karena pernah mendengar ucapan seseorang yang menyatakan bahwa membaca ramalan bintang itu tidak sesuai dengan ajaran agama, juga karena banyak ramalan bintang yang mungkin ditulis oleh orang iseng yang tak menguasai ilmu astrologi, sehingga ramalan bintangnya terkesan tak bermutu bahkan tak layak dibaca.
Tapi kadang ada ramalan bintang (atau mungkin tepat dikatakan hasil bacaan astrologi?), yang rasa-rasanya pantas untuk dibaca. Coba lihat apa yang disampaikan tentang hasil bacaan astrologi tentang orang yang memiliki bintang sama dengan saya. bahwa " Making the right choices in life can be hard to do, but no one else is going to do the job today -- it's up to you. But you're ready for this kind of pressure, in fact you kind of like it! Look at the situation, pick the path that offers the least amount of risk, and you should be fine. You are a strong person, whose level of strength has yet to be fully explored. Have confidence that even if all the hard times are not behind you right now, they are at least going away very soon".
Tulisan itu penuh semangat positif dan kearifan. Terus terang baru sekitar 3 (tiga) hari ini saya membaca hasil astrology dan menjadi tertarik karena walaupun soal kebenarannya saya bisa bilang "wallahu a'lam bisawab", paling tidak saya merasa diingatkan dan dicerahkan. Diingatkan bahwa ada nilai positif di diri kita yang tidak sepantasnya (di)hilang(kan) karena alasan apapun. Diingatkan agar kita tidak menghalalkan segala cara, walau mungkin ada sesuatu yang mengganggu atau ada seseorang yang mengecewakan kita. Dikuatkan dengan keyakinan bahwa walaupun hal yang sulit, berat dan menyakitkan belum lah berlalu; hal-hal itu akan segera berlalu. Pasti! Itulah sebabnya mungkin saya akan melanjutkan membaca hasil astrology. Itulah sebabnya saya ingin berbagi tulisan ini. Semoga ada manfaatnya.
Percayakah anda pada ramalan bintang? Saya tak tahu bagaimana benarnya, apakah boleh kita percaya pada ramalan bintang? Sejauh ini saya tak terlalu gemar membaca ramalan bintang, selain karena pernah mendengar ucapan seseorang yang menyatakan bahwa membaca ramalan bintang itu tidak sesuai dengan ajaran agama, juga karena banyak ramalan bintang yang mungkin ditulis oleh orang iseng yang tak menguasai ilmu astrologi, sehingga ramalan bintangnya terkesan tak bermutu bahkan tak layak dibaca.
Tapi kadang ada ramalan bintang (atau mungkin tepat dikatakan hasil bacaan astrologi?), yang rasa-rasanya pantas untuk dibaca. Coba lihat apa yang disampaikan tentang hasil bacaan astrologi tentang orang yang memiliki bintang sama dengan saya. bahwa " Making the right choices in life can be hard to do, but no one else is going to do the job today -- it's up to you. But you're ready for this kind of pressure, in fact you kind of like it! Look at the situation, pick the path that offers the least amount of risk, and you should be fine. You are a strong person, whose level of strength has yet to be fully explored. Have confidence that even if all the hard times are not behind you right now, they are at least going away very soon".
Tulisan itu penuh semangat positif dan kearifan. Terus terang baru sekitar 3 (tiga) hari ini saya membaca hasil astrology dan menjadi tertarik karena walaupun soal kebenarannya saya bisa bilang "wallahu a'lam bisawab", paling tidak saya merasa diingatkan dan dicerahkan. Diingatkan bahwa ada nilai positif di diri kita yang tidak sepantasnya (di)hilang(kan) karena alasan apapun. Diingatkan agar kita tidak menghalalkan segala cara, walau mungkin ada sesuatu yang mengganggu atau ada seseorang yang mengecewakan kita. Dikuatkan dengan keyakinan bahwa walaupun hal yang sulit, berat dan menyakitkan belum lah berlalu; hal-hal itu akan segera berlalu. Pasti! Itulah sebabnya mungkin saya akan melanjutkan membaca hasil astrology. Itulah sebabnya saya ingin berbagi tulisan ini. Semoga ada manfaatnya.
Saturday, April 25, 2009
Bagaimana Mengukur PSM ?
Pelibatan masyarakat diposisikan sebagai hal penting dan utama dalam paradigma pembangunan saat ini. Para ahli percaya pelibatan masyarakat dalam seluruh tahapan pembangunan akan meningkatkan kesiapan masyarakat, bukan hanya dalam menikmati hasil pembangunan melainkan juga dalam melanjutkan upaya pembangunan yang telah dilakukan. Pelibatan masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya merupakan salah satu cara untuk membantu masyarakat membantu diri mereka sendiri, atau untuk memandirikan masyarakat (to help people so they can help themselves).
Di Indonesia kita biasa menggunakan istilah PSM (Peran Serta Masyarakat) dalam menyebut partisipasi masyarakat. Dalam pembangunan pendidikan, PSM juga dipandang sebagai faktor penting. Di dalam UUSPN ditegaskan bahwa tanggung jawab pendidikan bukan hanya berada di tangan pemerintah melainkan juga di tangan masyarakat. Implikasinya adalah masyarakat perlu secara aktif terlibat dalam seluruh tahapan pembangunan pendidikan,sejak perencanaan sampai dengan evaluasinya.
Pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah/madrasah, Forum Komunikasi Komite Sekolah di tingkat kecamatan dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) atau Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten dan propinsi pada hakekatnya bertujuan untuk mengakomodasi pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Sayangnya harus diakui bahwa pembentukan wadah tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam mewarnai dan menghasilkan kebijakan pendidikan yang lebih berpihak kepada masyarakat.
CEPA Phase 2 memiliki tujuan besar yaitu peningkatan kualitas pelayanan pendidikan di tingkat dasar khususnya. Dengan menggunakan paradigma pembangunan berbasis masyarakat, program ini diarahkan pada peningkatan kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam mendukung pembangunan pendidikan. Tentu saja program ini disusun dan dikembangkan dengan kepercayaan bahwa partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan, sekalipun wilayah kerja program ini adalah daerah pasca konflik, dimana masyarakat selama bertahun-tahun telah mengalami masa konflik yang sedikit banyak menurunkan kepercayaan mereka kepada pemerintah dan pihak lainnya.
Bagaimana kita seyogianya mengukur keberhasilan program yang berbasis masyarakat? Lebih khususnya, bagaimana kita mengukur hasil dan pengaruh dari PSM?
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab berkaitan dengan PSM ini.
1. Perubahan apa yang sudah dicapai sebagai hasil dari partisipasi dan kolaborasi staf dan anggota masyarakat?
2. Sudahkah perubahan yang ingin dilihat masyarakat dilaksanakan?
3. Bila perubahan tidak dapat dilakukan, bagaimana kaitannya dengan kepuasan masyarakat?
4. Faktor apa yang dikenali sebagai penghalang dalam perubahan partisipasi masyarakat dan bagaimana hal tersebut diatasi?
5. Apakah masyarakat puas dengan kesempatan yang mereka miliki untuk didengar dan mempengaruhi pembuatan keputusan?
6. Di lapis/tingkat manakah partisipasi paling sering terjadi?
7. Apakah ada hubungan dan kemitraan baru yang saling menguntungkan, yang terjalin antara masyarakat dan pemerintah?
Sebaiknya pertanyaan untuk mengevaluasi PSM disampaikan pada saat program masih berlangsung sehingga kita bisa mengenali masalah yang muncul dan segera melakukan usaha untuk mengatasinya. Pertanyaan perlu diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan dan sumber yang ada di masyarakat.
1. Berapa banyak kegiatan yang memberikan peluang untuk partisipasi masyarakat?
2. Berapa jumlah orang yang mengikuti kegiatan tersebut?
3. Bagaimana distribusi peserta kegiatan menurut socio-demographic ? Apakah itu mencerminkan ketertarikan dan kepentingan masyarakat terhadap program?
4. Apakah partisipasi secara inklusif melibatkan seluruh kelompok pemangku kepentingan (stakeholders)?
5. Apakah keragaman partisipan (masyarakat)dihargai ?
6. Apakah yang menjadi penghalang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan bagaimana program mengatasi hal ini?
7. Apakah partisipasi masyarakat terus bertahan ataukah mereka menghilang setelah beberapa kali pertemuan?
8. Apakah pemerintah dan masyarakat siap untuk bekerja dalam kemitraan?
9. Bagaimana pendapat masyarakat mengenai pengalaman mereka terlibat dalam program?
10. Apakah organisasi (CEPA) dan staffnya telah belajar sesuatu dan perubahan apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan proses partisipasi ?
11. Apakah seluruh pemangku kepentingan merasa puas dengan kualitas pelibatan masyarakat?
12. Sudahkah terjadi komunikasi yang efektif dan efisien diantara seluruh pemangku kepentingan?
13. Apakah seluruh informasi yang relevan sudah dikomunikasikan dengan seluruh pemangku kepentingan secara terbuka?
14. Apakah partisipan masyarakat sudah dilibatkan dalam perencanaaan dan evaluasi strategi partisipasi?
15. Apakah strategi partisipasi sudah sesuai/tepat?
16. Bagaimana konflik dikelola?
Pertanyaan berkaitan dengan kapasitas dan dukungan.
1. Apakah partisipan puas dengan tingkat dukungan (support) yang diterima?
2. Apakah staf memiliki keterampilan, pengetahuan dan keyakinan (confidence) untuk memberi dukungan bagi masyarakat? Bila tidak, bagaimana hal ini diatasi?
3. Apakah partisipan menghargai keahlian dan masukan dari staf?
4. Apakah masyarakat sudah memiliki kemampuan yang memadai (sufficient) untuk berpartisipasi?
Kalau kita lihat pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab berkaitan dengan PSM, jelas ternyata bahwa implementasi program pembangunan berbasis masyarakat seyogianya dibarengi dengan evaluasi yang memadai. Evaluasi yang akan mampu memberikan kita informasi untuk perbaikan program belikutnya serta informasi yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah untuk melanjutkan menerapkan strategi pembangunan berbasis masyarakat. Evaluasi akan memberikan bukti yang benar dan dapat dipercaya mengenai keberhasilan program dan atau pelajaran yang dapat diambil (lessons learnt) dari suatu program.
Di Indonesia kita biasa menggunakan istilah PSM (Peran Serta Masyarakat) dalam menyebut partisipasi masyarakat. Dalam pembangunan pendidikan, PSM juga dipandang sebagai faktor penting. Di dalam UUSPN ditegaskan bahwa tanggung jawab pendidikan bukan hanya berada di tangan pemerintah melainkan juga di tangan masyarakat. Implikasinya adalah masyarakat perlu secara aktif terlibat dalam seluruh tahapan pembangunan pendidikan,sejak perencanaan sampai dengan evaluasinya.
Pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah/madrasah, Forum Komunikasi Komite Sekolah di tingkat kecamatan dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) atau Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten dan propinsi pada hakekatnya bertujuan untuk mengakomodasi pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Sayangnya harus diakui bahwa pembentukan wadah tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam mewarnai dan menghasilkan kebijakan pendidikan yang lebih berpihak kepada masyarakat.
CEPA Phase 2 memiliki tujuan besar yaitu peningkatan kualitas pelayanan pendidikan di tingkat dasar khususnya. Dengan menggunakan paradigma pembangunan berbasis masyarakat, program ini diarahkan pada peningkatan kesiapan dan kemampuan masyarakat dalam mendukung pembangunan pendidikan. Tentu saja program ini disusun dan dikembangkan dengan kepercayaan bahwa partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan, sekalipun wilayah kerja program ini adalah daerah pasca konflik, dimana masyarakat selama bertahun-tahun telah mengalami masa konflik yang sedikit banyak menurunkan kepercayaan mereka kepada pemerintah dan pihak lainnya.
Bagaimana kita seyogianya mengukur keberhasilan program yang berbasis masyarakat? Lebih khususnya, bagaimana kita mengukur hasil dan pengaruh dari PSM?
Ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab berkaitan dengan PSM ini.
1. Perubahan apa yang sudah dicapai sebagai hasil dari partisipasi dan kolaborasi staf dan anggota masyarakat?
2. Sudahkah perubahan yang ingin dilihat masyarakat dilaksanakan?
3. Bila perubahan tidak dapat dilakukan, bagaimana kaitannya dengan kepuasan masyarakat?
4. Faktor apa yang dikenali sebagai penghalang dalam perubahan partisipasi masyarakat dan bagaimana hal tersebut diatasi?
5. Apakah masyarakat puas dengan kesempatan yang mereka miliki untuk didengar dan mempengaruhi pembuatan keputusan?
6. Di lapis/tingkat manakah partisipasi paling sering terjadi?
7. Apakah ada hubungan dan kemitraan baru yang saling menguntungkan, yang terjalin antara masyarakat dan pemerintah?
Sebaiknya pertanyaan untuk mengevaluasi PSM disampaikan pada saat program masih berlangsung sehingga kita bisa mengenali masalah yang muncul dan segera melakukan usaha untuk mengatasinya. Pertanyaan perlu diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan dan sumber yang ada di masyarakat.
1. Berapa banyak kegiatan yang memberikan peluang untuk partisipasi masyarakat?
2. Berapa jumlah orang yang mengikuti kegiatan tersebut?
3. Bagaimana distribusi peserta kegiatan menurut socio-demographic ? Apakah itu mencerminkan ketertarikan dan kepentingan masyarakat terhadap program?
4. Apakah partisipasi secara inklusif melibatkan seluruh kelompok pemangku kepentingan (stakeholders)?
5. Apakah keragaman partisipan (masyarakat)dihargai ?
6. Apakah yang menjadi penghalang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan bagaimana program mengatasi hal ini?
7. Apakah partisipasi masyarakat terus bertahan ataukah mereka menghilang setelah beberapa kali pertemuan?
8. Apakah pemerintah dan masyarakat siap untuk bekerja dalam kemitraan?
9. Bagaimana pendapat masyarakat mengenai pengalaman mereka terlibat dalam program?
10. Apakah organisasi (CEPA) dan staffnya telah belajar sesuatu dan perubahan apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan proses partisipasi ?
11. Apakah seluruh pemangku kepentingan merasa puas dengan kualitas pelibatan masyarakat?
12. Sudahkah terjadi komunikasi yang efektif dan efisien diantara seluruh pemangku kepentingan?
13. Apakah seluruh informasi yang relevan sudah dikomunikasikan dengan seluruh pemangku kepentingan secara terbuka?
14. Apakah partisipan masyarakat sudah dilibatkan dalam perencanaaan dan evaluasi strategi partisipasi?
15. Apakah strategi partisipasi sudah sesuai/tepat?
16. Bagaimana konflik dikelola?
Pertanyaan berkaitan dengan kapasitas dan dukungan.
1. Apakah partisipan puas dengan tingkat dukungan (support) yang diterima?
2. Apakah staf memiliki keterampilan, pengetahuan dan keyakinan (confidence) untuk memberi dukungan bagi masyarakat? Bila tidak, bagaimana hal ini diatasi?
3. Apakah partisipan menghargai keahlian dan masukan dari staf?
4. Apakah masyarakat sudah memiliki kemampuan yang memadai (sufficient) untuk berpartisipasi?
Kalau kita lihat pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab berkaitan dengan PSM, jelas ternyata bahwa implementasi program pembangunan berbasis masyarakat seyogianya dibarengi dengan evaluasi yang memadai. Evaluasi yang akan mampu memberikan kita informasi untuk perbaikan program belikutnya serta informasi yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah untuk melanjutkan menerapkan strategi pembangunan berbasis masyarakat. Evaluasi akan memberikan bukti yang benar dan dapat dipercaya mengenai keberhasilan program dan atau pelajaran yang dapat diambil (lessons learnt) dari suatu program.
Friday, March 20, 2009
Isyu pendidikan di NAD
Dalam harian Serambi Kamis 19 Maret 2009 diberitakan tentang pertemuan di Meuredu yang membahas mengenai isyu pendidikan di NAD. Dalam pertemuan tersebut Anas M. Adam, mantan Kepala Dinas NAD menyatakan bahwa untuk NAD dana bukanlah kendala untuk pembangunan pendidikan. Pernyataan tersebut didasarkan pada pengetahuannya bahwa dana untuk pendidikan di NAD telah, sedang dan akan terus diluncurkan baik oleh pemerintah RI maupun oleh donor internasional.
Anas lebih lanjut menyebutkan adanya tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan di NAD, yaitu distribusi guru, dukungan orang tua terhadap belajar murid dan tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukung.
Mengenai distribusi guru Anas mencontohkan secara lebih rinci bagaimana kondisi distribusi guru di NAD. Masih banyak ditemukan guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Guru matematika mengajar Bahasa Indonesia, ahli administrasi pendidikan mengajar Kimia, dll. Tentu dengan mudah kita dapat membayangkan atau memperkirakan bagaimana hasil pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang tidak memiliki kualifikasi atau kemampuan yang sesuai dengan yang disyaratkan.
Di Kabupaten Bireuen masalah distribusi dan penempatan guru bukan hanya berkaitan dengan ketidaksesuaian kualifikasi dengan penugasan, melainkan juga berkaitan dengan penempatan guru. Di tingkat sekolah dasar misalnya, tampak jelas penempatan guru yang tidak merata. Hampir setengah dari jumlah sekolah binaan di gugus Jeunib dan Simpang Mamplam yang terletak di bagian barat kabupaten ini, masih memiliki guru dalam jumlah yang terbatas. SDN 17 Simpang Mamplam misalnya hanya memiliki 3 (tiga) guru yang berstatus pegawan negeri. Karena sekolah tidak mampu membiayai pengadaan guru honor, maka ketiga guru ini harus mengajar dalam dua shift, pagi dan siang hari. Sementara di gugus Peusangan, terdapat sekolah yang memiliki jumlah guru 19 orang (SDN 8 Peusangan) walaupun di sekolah ini hanya terdapat 9 rombongan belajar. Ini hanyalah sekelumit contoh tentang distribusi guru yang tidak merata.
Isyu mengenai distribusi guru ini juga pernah diungkapkan oleh Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Bireuen dalam suatu acara Diskusi Publik tentang partisipasi masyarakat untuk pendidikan. Beliau yang didampingi Kepala Bidang Data dan Informasi Pendidikan menyatakan bahwa tidak mudah membenahi masalah distribusi ini. Walaupun tidak diucapkan secara eksplisit, tersirat bahwa saat ini pemerintah memang masih belum bisa secara tegas menempatkan guru di satu sekolah karena adanya katebelece.
Mungkinkah pemerintah daerah mengubah cara pandang dan sikap dalam membuat keputusan? Dinas Pendidikan di seluruh kabupaten di NAD sudah mendapat advokasi dan pendampingan dalam penyusunan Rencana Strategis Pendidikan. Dinas Pendidikan sudah mendapat bantuan dan pendampingan dalam penyusunan sistem informasi pendidikan. Tetapi bila pemerintah daerah belum memiliki komitmen untuk mengubah cara dalam pembuatan kebijakan pendidikan, masih lebih memperhatikan kepentingan pribadi atau golongan daripada memperhatikan kepentingan bagi pembangunan SDM itu sendiri, maka sampai kapan pun pembangunan pendidikan di NAD tidak akan mampu menghasilkan manusia yang berkualitas. Seharusnya dengan segala bantuan yang belakangan diterima NAD, pendidikan di propinsi ini akan mampu menghasilkan manusia yang memiliki keunggulan kompetitif.
Mengenai dukungan orang tua terhadap pendidikan, harus diakui bahwa belakangan perhatian dan dukungan orang tua terhadap pendidikan anak secara umum menurun. Di beberapa sekolah yang sempat saya kunjungi, saya masih menemukan anak kelas 3 yang belum bisa menulis. Hal ini menurut saya cukup aneh. Aneh bila ada anak kelas 3 yang belum bisa menulis kalimat bahkan kata dengan benar. Jelas bahwa guru kurang memberikan bantuan individual untuk anak yang mengalami kesulitan dalam membaca dan jelas bahwa orang tua tidak cukup membantu anak dalam belajar. AIP CEPA melalui program yang dilaksanakan di 2 kabupaten (44 sekolah dan 8 madrasah) berkontribusi dalam membangun kembali kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mendukung belajar anak sekaligus mendukung program sekolah. Kabar dari lapangan menyatakan telah terjadinya perubahan di sejumlah sekolah. Kehadiran siswa di SDN 5 Baktiya pada musim panen padi meningkat dibandingkan dengan musim panen sebelumnya. Di SDN 4 Muara Batu masyarakat termasuk mantan kombatan GAM dan geuchik (kepala desa), menyumbang sejumlah dana untuk membeli 364 m2 tanah untuk pembangunan ruang kelas baru. Perubahan ini sungguh membanggakan dan semoga dapat ditularkan ke gugus dan sekolah lain di NAD.
Ketiadaan sarana dan prasarana pendidikan ? Berbicara mengenai prasarana maka yang paling menonjol di sekolah/madrasah di NAD adalah terbatasnya gugus sekolah yang memiliki Pusat Kegiatan Guru (PKG), serta ketiadaan atau tidak berfungsinya fasilitas sanitasi (WC dan air bersih). Bila yang dimaksudkan adalah alat bantu untuk pendidikan sebagaimana yang dikatakan Anas, untuk tingkat sekolah dasar pada umumnya semua sekolah sudah pernah mendapatkan kiriman Kit/Alat Peraga. Memang ditemukan ada beberapa sekolah yang belum memiliki alat peraga atau kit. Yang saya sayangkan adalah ketersediaan alat peraga di sekolah tidak menjamin meningkatnya kualitas pembelajaran, karena di sebagian besar sekolah/madrasah telah ditemukan alat peraga tersebut disimpan di kantor kepala sekolah atau ruang guru, masih dalam keadaan terbungkus plastik yang artinya adalah belum pernah digunakan. Seolah keberadaan alat peraga secara lengkap di setiap sekolah hanya diperlukan untuk keperluan akreditasi sekolah. Hanya untuk bisa menyatakan bahwa sekolah memiliki alat peraga secara lengkap. Sebagian guru menyatakan alasan mereka tidak menggunakan alat peraga itu adalah karena mereka tidak tahu cara menggunakannya. Bagi saya adalah aneh bila Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan untuk memberikan alat peraga kepada sekolah tanpa memberikan pembekalan mengenai cara penggunaannya. Aneh tetapi ini memang nyata adanya.
AIP CEPA melalui pemberian Dana Hibah untuk sekolah binaan mengharuskan setiap sekolah mengalokasikan sebagian dana untuk peningkatan kualitas pembelajaran selain untuk membangun atau merehabilitasi sarana fisik sekolah. Dana tersebut diarahkan untuk penyediaan alat dan bahan untuk membuat alat peraga, bukan untuk membeli alat peraga atau kit. Pada dasarnya untuk hampir seluruh topik pengajaran, guru memerlukan alat peraga. Karena itu dengan tersedianya bahan dan alat yang memadai, setiap guru bisa menciptakan sendiri alat bantu yang sesuai dan diperlukan untuk masing-masing topik.
Saat ini unit cost Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk setiap siswa cukup besar, bahkan sangat besar dibandingkan dengan sebelumnya. Semoga Kepala Sekolah dengan pengendalian dari guru dan Komite Sekolah dapat mengalokasikan sebagian dana BOS untuk penyediaan alat dan bahan untuk membuat alat peraga dan atau alat pendidikan lainnya (komputer, mikroskop untuk pendidikan menengah, dll).
Kualitas pendidikan tidak dapat ditingkatkan hanya dengan dibicarakan sebagai suatu wacana. Diperlukan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkannya. Dalam hal ini pembuat kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten, memegang peranan yang sangat penting. Di tingkat sekolah, revitalisasi Komite Sekolah yang dilakukan AIP CEPA bekerjasama dengan Majelis Pendidikan Daerah diharapkan bisa mengaktifkan peran lembaga ini sebagai advisor, controller, supporter dan mediator bagi sekolah.
Anas lebih lanjut menyebutkan adanya tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan di NAD, yaitu distribusi guru, dukungan orang tua terhadap belajar murid dan tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukung.
Mengenai distribusi guru Anas mencontohkan secara lebih rinci bagaimana kondisi distribusi guru di NAD. Masih banyak ditemukan guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Guru matematika mengajar Bahasa Indonesia, ahli administrasi pendidikan mengajar Kimia, dll. Tentu dengan mudah kita dapat membayangkan atau memperkirakan bagaimana hasil pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang tidak memiliki kualifikasi atau kemampuan yang sesuai dengan yang disyaratkan.
Di Kabupaten Bireuen masalah distribusi dan penempatan guru bukan hanya berkaitan dengan ketidaksesuaian kualifikasi dengan penugasan, melainkan juga berkaitan dengan penempatan guru. Di tingkat sekolah dasar misalnya, tampak jelas penempatan guru yang tidak merata. Hampir setengah dari jumlah sekolah binaan di gugus Jeunib dan Simpang Mamplam yang terletak di bagian barat kabupaten ini, masih memiliki guru dalam jumlah yang terbatas. SDN 17 Simpang Mamplam misalnya hanya memiliki 3 (tiga) guru yang berstatus pegawan negeri. Karena sekolah tidak mampu membiayai pengadaan guru honor, maka ketiga guru ini harus mengajar dalam dua shift, pagi dan siang hari. Sementara di gugus Peusangan, terdapat sekolah yang memiliki jumlah guru 19 orang (SDN 8 Peusangan) walaupun di sekolah ini hanya terdapat 9 rombongan belajar. Ini hanyalah sekelumit contoh tentang distribusi guru yang tidak merata.
Isyu mengenai distribusi guru ini juga pernah diungkapkan oleh Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Bireuen dalam suatu acara Diskusi Publik tentang partisipasi masyarakat untuk pendidikan. Beliau yang didampingi Kepala Bidang Data dan Informasi Pendidikan menyatakan bahwa tidak mudah membenahi masalah distribusi ini. Walaupun tidak diucapkan secara eksplisit, tersirat bahwa saat ini pemerintah memang masih belum bisa secara tegas menempatkan guru di satu sekolah karena adanya katebelece.
Mungkinkah pemerintah daerah mengubah cara pandang dan sikap dalam membuat keputusan? Dinas Pendidikan di seluruh kabupaten di NAD sudah mendapat advokasi dan pendampingan dalam penyusunan Rencana Strategis Pendidikan. Dinas Pendidikan sudah mendapat bantuan dan pendampingan dalam penyusunan sistem informasi pendidikan. Tetapi bila pemerintah daerah belum memiliki komitmen untuk mengubah cara dalam pembuatan kebijakan pendidikan, masih lebih memperhatikan kepentingan pribadi atau golongan daripada memperhatikan kepentingan bagi pembangunan SDM itu sendiri, maka sampai kapan pun pembangunan pendidikan di NAD tidak akan mampu menghasilkan manusia yang berkualitas. Seharusnya dengan segala bantuan yang belakangan diterima NAD, pendidikan di propinsi ini akan mampu menghasilkan manusia yang memiliki keunggulan kompetitif.
Mengenai dukungan orang tua terhadap pendidikan, harus diakui bahwa belakangan perhatian dan dukungan orang tua terhadap pendidikan anak secara umum menurun. Di beberapa sekolah yang sempat saya kunjungi, saya masih menemukan anak kelas 3 yang belum bisa menulis. Hal ini menurut saya cukup aneh. Aneh bila ada anak kelas 3 yang belum bisa menulis kalimat bahkan kata dengan benar. Jelas bahwa guru kurang memberikan bantuan individual untuk anak yang mengalami kesulitan dalam membaca dan jelas bahwa orang tua tidak cukup membantu anak dalam belajar. AIP CEPA melalui program yang dilaksanakan di 2 kabupaten (44 sekolah dan 8 madrasah) berkontribusi dalam membangun kembali kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mendukung belajar anak sekaligus mendukung program sekolah. Kabar dari lapangan menyatakan telah terjadinya perubahan di sejumlah sekolah. Kehadiran siswa di SDN 5 Baktiya pada musim panen padi meningkat dibandingkan dengan musim panen sebelumnya. Di SDN 4 Muara Batu masyarakat termasuk mantan kombatan GAM dan geuchik (kepala desa), menyumbang sejumlah dana untuk membeli 364 m2 tanah untuk pembangunan ruang kelas baru. Perubahan ini sungguh membanggakan dan semoga dapat ditularkan ke gugus dan sekolah lain di NAD.
Ketiadaan sarana dan prasarana pendidikan ? Berbicara mengenai prasarana maka yang paling menonjol di sekolah/madrasah di NAD adalah terbatasnya gugus sekolah yang memiliki Pusat Kegiatan Guru (PKG), serta ketiadaan atau tidak berfungsinya fasilitas sanitasi (WC dan air bersih). Bila yang dimaksudkan adalah alat bantu untuk pendidikan sebagaimana yang dikatakan Anas, untuk tingkat sekolah dasar pada umumnya semua sekolah sudah pernah mendapatkan kiriman Kit/Alat Peraga. Memang ditemukan ada beberapa sekolah yang belum memiliki alat peraga atau kit. Yang saya sayangkan adalah ketersediaan alat peraga di sekolah tidak menjamin meningkatnya kualitas pembelajaran, karena di sebagian besar sekolah/madrasah telah ditemukan alat peraga tersebut disimpan di kantor kepala sekolah atau ruang guru, masih dalam keadaan terbungkus plastik yang artinya adalah belum pernah digunakan. Seolah keberadaan alat peraga secara lengkap di setiap sekolah hanya diperlukan untuk keperluan akreditasi sekolah. Hanya untuk bisa menyatakan bahwa sekolah memiliki alat peraga secara lengkap. Sebagian guru menyatakan alasan mereka tidak menggunakan alat peraga itu adalah karena mereka tidak tahu cara menggunakannya. Bagi saya adalah aneh bila Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan untuk memberikan alat peraga kepada sekolah tanpa memberikan pembekalan mengenai cara penggunaannya. Aneh tetapi ini memang nyata adanya.
AIP CEPA melalui pemberian Dana Hibah untuk sekolah binaan mengharuskan setiap sekolah mengalokasikan sebagian dana untuk peningkatan kualitas pembelajaran selain untuk membangun atau merehabilitasi sarana fisik sekolah. Dana tersebut diarahkan untuk penyediaan alat dan bahan untuk membuat alat peraga, bukan untuk membeli alat peraga atau kit. Pada dasarnya untuk hampir seluruh topik pengajaran, guru memerlukan alat peraga. Karena itu dengan tersedianya bahan dan alat yang memadai, setiap guru bisa menciptakan sendiri alat bantu yang sesuai dan diperlukan untuk masing-masing topik.
Saat ini unit cost Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk setiap siswa cukup besar, bahkan sangat besar dibandingkan dengan sebelumnya. Semoga Kepala Sekolah dengan pengendalian dari guru dan Komite Sekolah dapat mengalokasikan sebagian dana BOS untuk penyediaan alat dan bahan untuk membuat alat peraga dan atau alat pendidikan lainnya (komputer, mikroskop untuk pendidikan menengah, dll).
Kualitas pendidikan tidak dapat ditingkatkan hanya dengan dibicarakan sebagai suatu wacana. Diperlukan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkannya. Dalam hal ini pembuat kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten, memegang peranan yang sangat penting. Di tingkat sekolah, revitalisasi Komite Sekolah yang dilakukan AIP CEPA bekerjasama dengan Majelis Pendidikan Daerah diharapkan bisa mengaktifkan peran lembaga ini sebagai advisor, controller, supporter dan mediator bagi sekolah.
Subscribe to:
Posts (Atom)