Saturday, November 15, 2008

Perempuan Aceh apa kabar?

Dalam kegiatan pembekalan dengan fasilitator desa dalam program kami (CEPA), terjadi diskusi menarik mengenai pelibatan perempuan dalam pembuatan keputusan. Ya, bicara tentang pelibatan perempuan dalam kegiatan apapun memang selalu menarik perhatian dan bahkan cenderung memunculkan kontoversi.

Saya memang lebih suka menggunakan istilah "pelibatan perempuan" dibandingkan dengan memunculkan istilah "gender", karena ada kesan dimana penggunaan istilah gender diartikan sebagai segala macam usaha perempuan untuk bisa disamakan dengan laki-laki.

Secara umum hampir seluruh peserta (31 orang) yang terdiri dari 8 perempuan dan 23 laki-laki; memahami dan menyadari pentingnya perempuan dilibatkan secara aktif dalam pembuatan keputusan. Walaupun tidak menggunakan istilah akademis, mereka mengerti bahwa perempuan memiliki kebutuhan praktis dan strategis yang berbeda dengan laki-laki dan karenanya perlu dilibatkan dalam pembuatan keputusan, baik di lingkungan rumah tangga (domestik) maupun di lingkungan pekerjaan atau kemasyarakatan. Mereka juga paham bahwa perempuan dan laki-laki diberi potensi yang sama oleh sang Maha Pencipta. Bahwa tidak ada sifat laki-laki dan perempuan, yang ada adalah sifat maskulin dan feminin; yang keduanya bisa dan bahkan perlu dimiliki oleh baik perempuan maupun laki-laki secara seimbang.

Ada hal menarik yang dimunculkan oleh para peserta pertemuan. Seorang peserta menyebutkan bahwa nilai sosial budaya masyarakat Aceh sebenarnya sangat menghormati dan menghargai perempuan. Masyarakat Aceh paham dan sadar benar bagaimana Wanita Aceh pendahulu mereka sangat luar biasa. Laksamana Malahayati yang gagah dan sanggup menaklukan lawannya. Tjut Nyak Dhien yang dikenal dengan keberanian dan kepahlawanannya. Tetapi justru karena penghormatan akan kemuliaan perempuan itulah maka dalam kegiatan di masyarakat yang memerlukan tenaga kasar, perempuan tidak secara langsung dilibatkan. Pernyataan ini sungguh menarik, dan tentunya harus diterima oleh kaum perempuan sebagai hal yang snagat positif.

Apa yang dinyatakan peserta lainnya, sungguh cukup mengejutkan. Ia menyatakan bahwa belakangan ada kecenderungan dimana perempuan Aceh salah memahami mengenai Kesetaraan Gender. Ada di antara mereka yang menggugat mengenai posisi perempuan sebagai pemimpin, domestifikasi (merumahkan) perempuan, warisan bagi perempuan, dll. Bahkan sepertinya ada kecenderungan dimana perempuan tidak merasa perlu lagi menghormati imamnya (dalam rumah tangga). Memang ini sungguh mengejutkan.

Memang dalam mempelajari feminisme, kita perlu berhati-hati. Kita perlu tahu filosofi apa yang digunakan sebagai dasar dalam melihat masalah feminisme itu. Sebagai Muslimah, seorang perempuan Aceh tidak pantas melihat masalah gender dengan menggunakan feminisme radikal, marxisme, dll. Bagaimanapun Agama adalah sistem nilai yang sudah pasti kebenarannya. Mutlak, tidak dapat diganggu gugat. Mungkin saja kita tidak paham (atau belum paham) tentang mengapa Allah menetapkan hak perempuan adalah setengah dari hak laki-laki dalam pembagian warisan. Tapi janganlah itu diartikan sebagai bentuk ketidak adilan. Mana mungkin Allah SWT yang Maha Adil dapat bertindak tidak adil? Kita mungkin hanya belum mengerti, karena keterbatasan kita sendiri.

Memang masih banyak pekerjaan rumah untuk memberdayakan perempuan Aceh. Sepertinya, diterapkannya syariah Islam yang mengharuskan kaum Muslimah mengenakan busana yang Islami, belum dapat dilihat (oleh kaum perempuan itu sendiri) sebagai usaha untuk menjaga kehormatan perempuan. Masih banyak perempuan yang melihatnya sebagai keharusan yang membebani. Karena itu masih banyak perempuan yang terus berusaha menampilkan "daya tarik tubuh"nya walaupun mengenakan busana Muslim. Sungguh patut disayangkan.

Bagaimana keberanian perempuan dalam mengemukakan pendapat di hadapan kelompok yang mayoritas laki-laki? Secara umum, masih sangat rendah. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pendidikan dalam lingkungan keluarga yang kurang memberikan kesempatan kepada anak perempuan dalam memberikan pendapat. Belum lagi pengalaman di sekolah dimana secara umum sekolah memang kurang membangun keterampilan dan keberanian dalam menyampaikan pendapat.

Pengalaman menarik terlihat dalam pertemuan kemarin. Pada hari pertama, hanya 2-3 perempuan yang berani mengemukakan pendapat tanpa harus diminta atau dipaksa. Pada hari berikutnya ketika diciptakan suasana yang lebih akrab, dimana lebih ada jaminan bahwa suara dan pikiran mereka tidak akan dicela oleh rekan-rekan mereka yang laki-laki, peserta perempuan lebih berani mengemukakan pendapat. Yang lebih membanggakan adalah, kualitas pendapat dan masukan mereka sungguh bermakna bagi tim.

Agaknya perempuan Aceh memerlukan model peran seperti Malahayati atau Cut Nyak Dhien, yang dapat membangkitkan kepercayaan diri mereka. Diperlukan lebih banyak perempuan yang bisa menjadi contoh dan motivasi bagi kaum perempuan lainnya. Perempuan Aceh, bangkit dan berbuatlah untuk anak-anak dan bangsamu!

Make me proud !

Bagi orang tua, tak ada lain yang menjadi impiannya adalah melihat anak-anak mereka tumbuh dengan sehat dan bahagia, dan menjadi manusia dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab. Ya, rasanya tak ada yang lebih penting dari itu. Kemandirian-lah yang membuat kita mampu memegang prinsip, yang akan memberanikan diri kita untuk mengatakan apa yang seharusnya dikatakan, untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kemandirian yang membuat kita tidak bergantung pada siapapun, yang membuat kita berani membela satu prinsip manakala banyak pihak lain memiliki pandangan berbeda.

Kemandirian, justru akan kukuh terbangun manakala kita dekat dengan yang Maha Kuasa. Hanya dengan menempatkan Allah SWT sebagai yang Maha Kuat dan Maha Kuasa, yang melihat bahwa hanya Dia-lah yang Maha, maka tidak ada satu manusia pun yang akan membuat hati kita ciut. Tak ada satu pihak pun yang dapat menteror kita, yang akan dapat menyurutkan langkah kita dalam memperjuangkan kebenaran. Tak ada yang dapat mengecilkan kita, walaupun mungkin secara material kita miskin.

Bertanggung jawab, berarti menyadari setiap kata yang diucapkan dan tindak yang dilakukan, dan berani menanggung segala akibatnya. Bertanggung jawab erat berkait dengan peran dan posisi kita masing-masing. Sebagai orang tua, sebagai anak, sebagai suami, atau sebagai seorang isteri; kita semua memiliki tanggung jawab masing-masing.

Make me proud, children! Jadilah manusia yang mandiri dan bertanggung jawab. Kalau kalian belum bisa mandiri apalagi bertanggung jawab, maka berarti aku gagal dalam mendidik kalian. Maafkan ......