Friday, March 20, 2009

Isyu pendidikan di NAD

Dalam harian Serambi Kamis 19 Maret 2009 diberitakan tentang pertemuan di Meuredu yang membahas mengenai isyu pendidikan di NAD. Dalam pertemuan tersebut Anas M. Adam, mantan Kepala Dinas NAD menyatakan bahwa untuk NAD dana bukanlah kendala untuk pembangunan pendidikan. Pernyataan tersebut didasarkan pada pengetahuannya bahwa dana untuk pendidikan di NAD telah, sedang dan akan terus diluncurkan baik oleh pemerintah RI maupun oleh donor internasional.

Anas lebih lanjut menyebutkan adanya tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan di NAD, yaitu distribusi guru, dukungan orang tua terhadap belajar murid dan tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukung.

Mengenai distribusi guru Anas mencontohkan secara lebih rinci bagaimana kondisi distribusi guru di NAD. Masih banyak ditemukan guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Guru matematika mengajar Bahasa Indonesia, ahli administrasi pendidikan mengajar Kimia, dll. Tentu dengan mudah kita dapat membayangkan atau memperkirakan bagaimana hasil pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang tidak memiliki kualifikasi atau kemampuan yang sesuai dengan yang disyaratkan.

Di Kabupaten Bireuen masalah distribusi dan penempatan guru bukan hanya berkaitan dengan ketidaksesuaian kualifikasi dengan penugasan, melainkan juga berkaitan dengan penempatan guru. Di tingkat sekolah dasar misalnya, tampak jelas penempatan guru yang tidak merata. Hampir setengah dari jumlah sekolah binaan di gugus Jeunib dan Simpang Mamplam yang terletak di bagian barat kabupaten ini, masih memiliki guru dalam jumlah yang terbatas. SDN 17 Simpang Mamplam misalnya hanya memiliki 3 (tiga) guru yang berstatus pegawan negeri. Karena sekolah tidak mampu membiayai pengadaan guru honor, maka ketiga guru ini harus mengajar dalam dua shift, pagi dan siang hari. Sementara di gugus Peusangan, terdapat sekolah yang memiliki jumlah guru 19 orang (SDN 8 Peusangan) walaupun di sekolah ini hanya terdapat 9 rombongan belajar. Ini hanyalah sekelumit contoh tentang distribusi guru yang tidak merata.

Isyu mengenai distribusi guru ini juga pernah diungkapkan oleh Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Bireuen dalam suatu acara Diskusi Publik tentang partisipasi masyarakat untuk pendidikan. Beliau yang didampingi Kepala Bidang Data dan Informasi Pendidikan menyatakan bahwa tidak mudah membenahi masalah distribusi ini. Walaupun tidak diucapkan secara eksplisit, tersirat bahwa saat ini pemerintah memang masih belum bisa secara tegas menempatkan guru di satu sekolah karena adanya katebelece.

Mungkinkah pemerintah daerah mengubah cara pandang dan sikap dalam membuat keputusan? Dinas Pendidikan di seluruh kabupaten di NAD sudah mendapat advokasi dan pendampingan dalam penyusunan Rencana Strategis Pendidikan. Dinas Pendidikan sudah mendapat bantuan dan pendampingan dalam penyusunan sistem informasi pendidikan. Tetapi bila pemerintah daerah belum memiliki komitmen untuk mengubah cara dalam pembuatan kebijakan pendidikan, masih lebih memperhatikan kepentingan pribadi atau golongan daripada memperhatikan kepentingan bagi pembangunan SDM itu sendiri, maka sampai kapan pun pembangunan pendidikan di NAD tidak akan mampu menghasilkan manusia yang berkualitas. Seharusnya dengan segala bantuan yang belakangan diterima NAD, pendidikan di propinsi ini akan mampu menghasilkan manusia yang memiliki keunggulan kompetitif.

Mengenai dukungan orang tua terhadap pendidikan, harus diakui bahwa belakangan perhatian dan dukungan orang tua terhadap pendidikan anak secara umum menurun. Di beberapa sekolah yang sempat saya kunjungi, saya masih menemukan anak kelas 3 yang belum bisa menulis. Hal ini menurut saya cukup aneh. Aneh bila ada anak kelas 3 yang belum bisa menulis kalimat bahkan kata dengan benar. Jelas bahwa guru kurang memberikan bantuan individual untuk anak yang mengalami kesulitan dalam membaca dan jelas bahwa orang tua tidak cukup membantu anak dalam belajar. AIP CEPA melalui program yang dilaksanakan di 2 kabupaten (44 sekolah dan 8 madrasah) berkontribusi dalam membangun kembali kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mendukung belajar anak sekaligus mendukung program sekolah. Kabar dari lapangan menyatakan telah terjadinya perubahan di sejumlah sekolah. Kehadiran siswa di SDN 5 Baktiya pada musim panen padi meningkat dibandingkan dengan musim panen sebelumnya. Di SDN 4 Muara Batu masyarakat termasuk mantan kombatan GAM dan geuchik (kepala desa), menyumbang sejumlah dana untuk membeli 364 m2 tanah untuk pembangunan ruang kelas baru. Perubahan ini sungguh membanggakan dan semoga dapat ditularkan ke gugus dan sekolah lain di NAD.

Ketiadaan sarana dan prasarana pendidikan ? Berbicara mengenai prasarana maka yang paling menonjol di sekolah/madrasah di NAD adalah terbatasnya gugus sekolah yang memiliki Pusat Kegiatan Guru (PKG), serta ketiadaan atau tidak berfungsinya fasilitas sanitasi (WC dan air bersih). Bila yang dimaksudkan adalah alat bantu untuk pendidikan sebagaimana yang dikatakan Anas, untuk tingkat sekolah dasar pada umumnya semua sekolah sudah pernah mendapatkan kiriman Kit/Alat Peraga. Memang ditemukan ada beberapa sekolah yang belum memiliki alat peraga atau kit. Yang saya sayangkan adalah ketersediaan alat peraga di sekolah tidak menjamin meningkatnya kualitas pembelajaran, karena di sebagian besar sekolah/madrasah telah ditemukan alat peraga tersebut disimpan di kantor kepala sekolah atau ruang guru, masih dalam keadaan terbungkus plastik yang artinya adalah belum pernah digunakan. Seolah keberadaan alat peraga secara lengkap di setiap sekolah hanya diperlukan untuk keperluan akreditasi sekolah. Hanya untuk bisa menyatakan bahwa sekolah memiliki alat peraga secara lengkap. Sebagian guru menyatakan alasan mereka tidak menggunakan alat peraga itu adalah karena mereka tidak tahu cara menggunakannya. Bagi saya adalah aneh bila Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan untuk memberikan alat peraga kepada sekolah tanpa memberikan pembekalan mengenai cara penggunaannya. Aneh tetapi ini memang nyata adanya.

AIP CEPA melalui pemberian Dana Hibah untuk sekolah binaan mengharuskan setiap sekolah mengalokasikan sebagian dana untuk peningkatan kualitas pembelajaran selain untuk membangun atau merehabilitasi sarana fisik sekolah. Dana tersebut diarahkan untuk penyediaan alat dan bahan untuk membuat alat peraga, bukan untuk membeli alat peraga atau kit. Pada dasarnya untuk hampir seluruh topik pengajaran, guru memerlukan alat peraga. Karena itu dengan tersedianya bahan dan alat yang memadai, setiap guru bisa menciptakan sendiri alat bantu yang sesuai dan diperlukan untuk masing-masing topik.

Saat ini unit cost Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk setiap siswa cukup besar, bahkan sangat besar dibandingkan dengan sebelumnya. Semoga Kepala Sekolah dengan pengendalian dari guru dan Komite Sekolah dapat mengalokasikan sebagian dana BOS untuk penyediaan alat dan bahan untuk membuat alat peraga dan atau alat pendidikan lainnya (komputer, mikroskop untuk pendidikan menengah, dll).

Kualitas pendidikan tidak dapat ditingkatkan hanya dengan dibicarakan sebagai suatu wacana. Diperlukan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkannya. Dalam hal ini pembuat kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten, memegang peranan yang sangat penting. Di tingkat sekolah, revitalisasi Komite Sekolah yang dilakukan AIP CEPA bekerjasama dengan Majelis Pendidikan Daerah diharapkan bisa mengaktifkan peran lembaga ini sebagai advisor, controller, supporter dan mediator bagi sekolah.

Tuesday, March 17, 2009

Siapkah kita untuk memberdayakan SDM?

Konsep pemberdayaan yang merupakan terjemahan dari empowering, seringkali diucapkan dan digunakan dalam kaitan dengan pembangunan sumber daya manusia. Konsep pemberdayaan didasari kepercayaan bahwa pada dasarnya manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Konsep pemberdayaan berkaitan dengan usaha untuk menjamin keberlangjutan program pembangunan.

Satu hal mendasar sebagaimana yang dikemukakan pada awal tulisan ini, untuk dapat memberdayakan SDM kita perlu memiliki kepercayaan tentang potensi yang ada pada SDM kita. Hal yang mudah diucapkan tetapi tidak sesederhana itu dalam pelaksanaannya.

Saya hanya ingin berbagi pengalaman dalam mencoba memberdayakan SDM lokal. Pada awal program CEPA, hampir semua pelatihan untuk staf dan masyarakat dilaksanakan oleh pelatih nasional atau dari propinsi. Mungkin saja pelatihan berjalan lancar dan mencapai target. Tujuan pelatihan yang biasanya berupa peningkatan pemahaman dan keterampilan, mungkin saja tercapai. Satu hal yang pasti, bila program dijalankan dengan pendekatan semacam ini maka dapat dipastikan bahwa pada akhir program pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas untuk melanjutkan program.

Pada fase 2 CEPA, pendekatan dalam membangun kapasitas masyarakat dilakukan dengan cara berbeda. Pelatihan tidak secara langsung ditujukan pada masyarakat, melainkan lebih dulu diarahkan pada pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan pelatihan bagi masyarakat dan tenaga kependidikan. ToT dilaksanakan untuk membangun suatu pool pelatih. Tentu saja pelatih yang dihasilkan dari suatu ToT tidak akan secara langsung mampu melaksanakan pelatihan sebaik pelatih nasional atau pelatih propinsi yang sudah lebih berpengalaman. Bagaimanapun seorang calon pelatih memerlukan pengalaman, karenanya pada tahap pertama CEPA menggabungkan pelatih pemula dengan pelatih propinsi agar pelatih lokal dapat belajar secara praktis pengalaman dalam melaksanakan pelatihan. Setelah 2-3 bulan berjalan, pelatih lokal/kabupaten sudah mampu menunjukkan kemampuannya dalam melatih masyarakat sekolah dan masyarakat pendidikan.

Tampaknya apa yang digambarkan di atas hanyalah hal yang sederhana dan semua orang bisa melakukan itu. Kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Dibutuhkan kepercayaan akan kemampuan pelatih lokal untuk bisa mewujudkan itu. Juga dibutuhkan pendampingan dan reviu secara berkelanjutan agar bisa meningkatkan kemampuan dan pengalaman pelatih lokal. Membiasakan tim pelatih lokal untuk melakukan refleksi dan evaluasi dalam setiap pelatihan, merupakan hal yang penting. Banyak penyelenggara pelatihan yang merasa puas dengan pelatihan yang mereka laksanakan tanpa merasa perlu mengetahui bagaimana penilaian dan penerimaan peserta terhadap pelatihan yang mereka terima. Pendampingan dari manajer pelatihan diperlukan untuk menjamin bahwa pelatihan tetap berada di jalur yang tepat, dilaksanakan secara tepat untuk membangun kapasitas yang relevan dengan tujuan program.

Dalam lingkup kabupaten dan kecamatan, Dinas Pendidikan telah membangun kemampuan pelatih kabupaten dan tutor untuk memandu kegiatan di tingkat kecamatan dan gugus. Tapi dalam kenyataannya para tutor yang sudah dilatih oleh pelatih kabupaten masih belum memiliki kemampuan yang memadai. Salah satu yang teramati adalah para tutor ini kurang diberi kesempatan untuk melakukan tugasnya. Dalam satu gugus atau bahkan di satu kecamatan (UPTD/Unit Pelaksana Teknis Daerah) misalnya, hanya satu atau dua tutor yang dipercaya untuk menjadi instruktur atau pemandu dalam kegiatan KKG (Kelompok Kerja Guru). Akibatnya banyak tutor lainnya yang juga sudah dilatih oleh Dinas Pendidikan, menjadi kurang pengalaman dan canderung kurang memiliki kepercayaan akan kemampuannya sendiri. Inilah yang saya maksid dengan kesiapan untuk memberdayaan SDM. Untuk dapat memberdayakan SDM lokal, kita perlu percaya bahwa mereka mampu. Tentu saja pendampingan tetap perlu dilakukan dan dalam hal ini pengawas sekolah/madrasah harus melaksanakan perannya sebagai pembina di tingkat kecamatan dan gugus.

Adalah sifat manusia kadang merasa bahwa dirinya mampu, menilai dirinya lebih mampu dari orang lain, bahkan menempatkan dirinya sebagai yang paling mampu. Tetapi kita tak akan pernah bisa memberdayakan SDM bila kita memiliki pandangan semacam ini. Hanya dengan kepercayaan akan kemampuan SDM lokal, dibarengi dengan kemauan dan kesungguhan untuk memberikan pendampingan, kita akan mampu memberdayakan SDM lokal.

Monday, March 16, 2009

Buah dari Komunikasi yang Baik

Menjelang Pemilu masih ada satu pelatihan penting bagi Panitia Pengembangan Sekolah sebelum Dana Hibah untuk sekolah diturunkan. Pelatihan Pengelolaan Dana Hibah akan dilaksanakan untuk 3 (tiga) gugus sekolah di Kabupaten Aceh Utara. Ketika kami sudah siap untuk turun ke lapangan, tiba-tiba ada pemberitahuan dari Polres Bireuen bahwa mulai besok (17 Maret 2009) tidak diijinkan melakukan kegiatan yang melibatkan orang banyak, termasuk pelatihan atau pertemuan apapun. Tentu saja kami kaget. Kalau pelatihan harus diundurkan sampai setelah selesai Pemilu (tanggal 9 April) maka otomatis seluruh kegiatan lainnya harus juga diundurkan. Padahal batas waktu untuk program CEPA sudah semakin dekat.

Kami langsung kontak dengan seluruh Koordinator Gugus dan meminta mereka melakukan konfirmasi ke Polsek di masing-masing kecamatan, apakah kami masih diijinkan melakukan pelatihan untuk masyarakat sejak tanggal 17 Maret sampai dengan tanggal 27 Maret (4 gelombang). Alhamdulillah, informasi dari ketiga gugus di Baktiya, Muara Batu dan Paya Bakong menyatakan bahwa Polsek mengijinkan kami tetap melakukan pelatihan untuk masyarakat. Menurut Polsek, mereka percaya pelatihan ini penting dan mereka senang karena selama ini CEPA selalu memberitahukan seluruh kegiatan pelatihan kepada Polsek. Alhamdulillah, inilah buah dari komunikasi yang selama ini telah dijalin dengan baik. Terima kasih tim gugus. Terima kasih Polsek dan jajaran Muspika lainnya.

Untuk kegiatan di Bireuen, kami hanya dapat melakukan pelatihan internal untuk staf. Pelatihan yang melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terpaksa diundurkan ke pertengahan April. Pelatihan untuk staf akan dilaksanakan di kantor secara bertahap. Mudah-mudahan pengunduran kegiatan pelatihan untuk stakeholder tidak terlalu berdampak pada bergesernya work plan kami.

Sunday, March 15, 2009

Apa yang menarik dari Chloe Oliver


Chloe Oliver, perempuan muda berasal dari Australia, sudah sejak Februari 2007 menjadi Team Leader untuk program CEPA. Ketika itu saya sendiri masih menjadi Program Manager untuk program Revitalisasi Gugus di bawah ERA - AusAID untuk 5 kabupaten di NAD. Sempat ia datang ke rumah yang sekaligus menjadi kantor saya di Pidie. Chloe datang untuk juga bertemu dengan John Bladen yang kalau tak salah adalah juga sahabat orangtuanya. Kami sempat berbincang tentang pendidikan di NAD sambil makan siang masakan sendiri. Saat itu saya melihat dia dengan mudah menikmati makanan Indonesia.

Pertama kali saya bergabung dengan CEPA di bulan November 2007, saya melihat Chloe adalah seorang manajer yang merakyat. Tak ada dia minta diberi keistimewaan. Ruang kerja para manajer diset sedemikian rupa agar tidak eksklusif. Ruang kerja kami terbuka sehingga siapapun bisa dengan mudah berkomunikasi dengan kami sekaligus kami dapat mengawasi kerja seluruh staf. Untuk hadir di kantor Chloe tak pernah dia minta dijemput kendaraan kantor. Kadang dia datang dengan menggunakan sepeda, selanjutnya dia datang dengan motor yang disewanya sendiri. Berbeda dengan tipikal manajer di negara kita yang manja dan meminta fasilitas walaupun kinerjanya belum dia buktikan.

Salah satu keunggulan Chloe adalah kemampuannya menjalin hubungan dengan tokoh penting di NAD. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di NAD, KPA sebagai organisasi wadah para petinggi dan mantan GAM, adalah organisasi yang kuat dan memiliki otoritas serta pengaruh yang besar di masyarakat. Hampir semua organisasi donor sudah merasakan bahwa program apapun yang diterapkan di NAD, akan diminta untuk memberikan kontribusi melalui apa yang mereka sebut dengan Pajak Nangroe. Chloe dengan kemampuannya melakukan lobi dan advokasi, mampu menjadikan CEPA sebagai satu-satunya program yang berani menyatakan Zero Tolerance terhadap Pajak Nangroe. Memang ini bukan hal mudah. Dalam perjalanan program masih ada oknum KPA yang mencoba dengan berbagai cara meminta bagian atau menghambat jalannya program. Tapi dengan tegas Chloe memimpin tim untuk tetap menyatakan "tidak" terhadap segala usaha tersebut.

Chloe juga menjalin hubungan yang sangat baik dengan Bupati Bireuen. Pak Bupati yang memang pernah tinggal dan sekolah di Australia, seperti juga banyak orang Aceh lainnya, memang melihat dan memposisikan Australia sebagai sahabat mereka. Itu sebabnya pak Bupati selalu menyempatkan hadir dalam kegiatan penting CEPA, seperti peletakkan batu pertama pembangunan gedung sekolah. Terakhir, Bupati juga hadir dalam perpisahan dengan Chloe Oliver dan bahkan bersedia membantu Chloe dalam menerjemahkan kata-kata yang sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Sungguh hal semacam itu tak akan dapat diperoleh bila Chloe tidak memiliki kemampuan menjalin komunikasi yang berkualitas.

Chloe mungkin masih muda, tetapi dia terbukti mampu memimpin tim yang cukup besar. Chloe juga bisa menerima masukan dari tim bila ada hal yang kurang tepat. Satu saat walaupun Chloe sangat ingin komposisi stafnya berimbang menurut gender, dia bisa menerima masukan bahwa syarat kemampuan minimal staf harus dipenuhi untuk menjamin program dapat berjalan secara efektif.

Tiga bulan setelah saya bekerja dengan CEPA Chloe melakukan evaluasi performa. Chloe sangat menghargai keberadaan saya di tim dan menilai bahwa kontribusi saya untuk tim sangat besar. Chloe melihat kehadiran saya bukan hanya dalam posisi sebagai manajer bidang pelatihan dan pendidikan, tetapi juga sebagai seorang ibu bagi stafnya.

Chloe sangat cergas. Dia ingin setiap masalah cepat diselesaikan, tanpa ditunda-tunda. Kadang kami merasa sesak nafas karena banyak kegiatan harus dilakukan dengan segera. Tapi itulah tuntutan program, kami harus merujuk pada work plan yang ketat. Saat ini program berada pada tahap akhir. Hampir seluruh pelatihan untuk masyarakat sudah dilaksanakan. Tinggal enam bulan waktu tersisa. Seluruh tenaga dan pikiran harus dicurahkan. Tapi seperti kata Chloe sendiri, kegiatan CEPA sudah on the track. Kami tinggal menyelesaikan program.

Selama dalam pimpinan Chloe sudah cukup banyak produk yang dihasilkan CEPA. Selain gedung sekolah yang secara nyata terbangun di gugus binaan, produk yang akan membawa perubahan secara berkelanjutan sudah dihasilkan. Mengembalikan posisi Majelis Pendidikan Daerah sebagai mitra pemerintah daerah dalam pembangunan bidang pendidikan, adalah salah satunya. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi aktif masyarakat untuk menjamin peningkatan pelayanan pendidikan, sudah mulai terlihat meningkat di daerah binaan. Komitmen dan rasa memiliki pemerintah daeah terhadap program CEPA, semoga dapat dilanjutkan setelah program ini berakhir.

Thank you Chloe! Good luck and success!

Surat untuk Chloe Oliver dan Irfani Darma


(Perpisahan dengan Chloe Olliver - Team Leader CEPA lama dan penerimaan pak Irfani Darma - Team Leader CEPA yang baru)

Ibu Chloe yang kami cintai,
Ketika kami mendengar bahwa Ibu akan mengakhiri kerja di CEPA
Dan berniat untuk kembali ke Australia…. Rasanya kami tak dapat berkata apa-apa.
Memang tak akan ada kata yang tepat untuk diucapkan, walau kami tak ingin kehilangan ibu. Ibu sudah cukup lama bersama kami, menjalani saat-saat sulit di awal program.
Sudah diterima dengan sangat baik oleh semua kalangan di kabupaten dan daerah binaan. Senantiasa berdiri bersama kami ketika menghadapi kesulitan dan tantangan dalam perjalanan program. Tapi kami juga sadar sepenuhnya … Ibu Chloe juga memiliki hak untuk meraih hal lain yang mungkin sudah direncanakan. Kami dengar salah satu alasan ibu adalah karena ibu Chloe sangat merindukan berada kembali di tengah keluarga dan teman, setelah 2 tahun berada jauh dari mereka….. kami dapat merasakan itu Ibu! Dan kami dapat memahami…, walau sebenarnya kami tak ingin ibu pergi.

Dear ibu Chloe,
Selama 2 tahun ibu membimbing dan menemani kami
Mengerjakan pekerjaan yang selalu saya sebut sebagai “mulia… tetapi seperti mission impossible”. Mulia.... tetapi sungguh tak mudah untuk dicapai dan berhasil dengan baik. Tetapi dengan ketekunan, kesabaran, dan ketegasan; dengan selalu membangkitkan semangat dan menerapkan disiplin; dengan kepercayaan akan kemampuan kami untuk mencapai keberhasilan; dengan senantiasa menjalin hubungan kepercayaan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya; Ibu telah membuat kami berusaha melakukan yang terbaik bagi masyarakat pendidikan di Aceh ini

Ibu Chloe,
Sebagai manusia, tentu kami tak luput dari kekurangan dan kesalahan.
Mungkin… tak jarang kami membuat Ibu kesal atau kecewa. Ini saatnya kami meminta maaf.

Banyak hal manis yang akan kami kenang tentang ibu.
Kegemaran ibu akan durian, dan kegembiraan yang kita alami saat makan durian bersama seluruh staf, tidak akan kami lupakan. Kata-kata yang biasa ibu ucapkan untuk menghargai kami, “fantastic! Excellent! Champion!” , bukan hanya akan selalu terngiang di telinga kami, tetapi juga akan selalu menjadi pemacu semangat dan kepercayaan diri kami. Ibu juga telah mengingatkan kami tentang pentingnya memelihara lingkungan. Matikan AC dan listrik kalau tidak diperlukan, gunakan kertas bekas dan kayu bekas, dll. Ketika banyak staf kami masih manja dengan memilih kendaraan yang akan kami pakai, Ibu bahkan tak enggan menggunakan sepeda untuk menghadiri rapat di kantor bupati.

Sungguh, masih banyak yang perlu kami pelajari dari Ibu. Tapi, bagaimanapun Ibu sudah memilih untuk kembali ke Australia. Selamat jalan Ibu Chloe

Thanks for all that you did,
And the way that you did it
Thanks for being our team leader and friend,
Encouraging our efforts
As you made us do our best.
We will miss you

Semoga ibu selalu mendapatkan yang terbaik, dan berada dalam lindunganNya. Wish you find your soul mate immediately and live happily ever after.
Wish you all the best, God bless you! And thank you!!!

Kepada pak Irfani, Team Leader kami yang baru….
Selamat datang….. semoga Bapak dapat memahami kami semua. Kami yakin bapak bisa menjadi bagian dari keluarga CEPA, seperti juga ibu Chloe dan seluruh stakeholder melihat CEPA sebagai satu keluarga, yang bercita-cita melakukan perubahan dalam dunia pendidikan.

Semoga kita dapat bekerjasama dengan baik …. Insya Allah …..




\