Thursday, July 26, 2007

Peran Pengawas Sekolah


Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran" dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam bahasa Inggrisnya, memang diambil dari dramaturgy atau seni teater. Dalam seni teater seorang aktor diberi peran yang harus dimainkan sesuai dengan plot-nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya.

Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut. Karena itulah ada yang disebut dengan role expectation. Harapan mengenai peran seseorang dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari si pemberi tugas dan harapan dari orang yang menerima manfaat dari pekerjaan/posisi tersebut.

Seorang pengawas sekolah misalnya. Pemberi tugas seorang pengawas adalah Dinas Pendidikan sementara yang merupakan penerima manfaat adalah para guru dan kepala sekolah. Dinas Pendidikan mengharapkan (role expectation) bahwa pengawas sekolah mampu melakukan supervisi terhadap sekolah, dengan tujuan meningkatkan kedisiplinan, komitmen dan kemampuan para guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Sementara para guru dan kepala sekolah, juga mengharapkan agar pengawas mampu menjadi tempat bertanya, tempat mereka mendapatkan bantuan teknis.

Untuk dapat melaksanakan peran masing-masing dengan baik, setiap pemegang peran haruslah memahami benar apa yang menjadi fungsi perannya. Kejelasan tentang peran ini (role clarification) merupakan kondisi prasyarat untuk tercapainya harapan terhadap sesuatu peran. Ambil contoh, manakala seorang pengawas tidak memiliki pemahaman yang benar tentang perannya, mana mungkin dia bisa menjalankan tugasnya dengan benar. Yang lebih mungkin terjadi adalah kesalahkaprahan. Bukan sekali dua kita mendengar perilaku pengawas yang datang ke sekolah, duduk di ruang kepala sekolah, menulis laporan supervisi di buku supervisi walaupun dia tak pernah masuk ke kelas untuk melihat guru mengajar. Dia juga tentu tak paham apa yang diharapkan Dinas Pendidikan serta para guru dan kepala sekolah.

Hal kedua yang terpenting adalah kemampuan yang memadai. Peran pengawas itu vital atau sangat penting. Pengawas sekolah lah yang menjadi ujung tombak penjamin mutu pendidikan. Sekalipun para guru telah dilatih mengenai kurikulum baru, atau pun berbagai inovasi dalam pembelajaran, di lapangan mereka akan mengalami kesulitan dan tantangan. Disinilah pentingnya peran pengawas. Pengawaslah yang diharapkan dapat memberikan masukan, saran dan bahkan meningkatkan motivasi dan semangat para guru agar tidak patah arang dalam mencoba menerapkan gagasan, pengetahuan dan keterampilan mereka di kelas. Sayangnya, sekalipun semua orang bicara tentang pentingnya peran pengawas, dalam kenyataannya rekruitmen pengawas tidak mendapat perhatian yang memadai.

Dari pengalaman bekerja di sejumlah kabupaten di Aceh ini, cukup banyak teman dari Dinas Pendidikan Kabupaten mengeluhkan sistem rekruitmen pengawas yang mereka pandang tidak memadai. Pengangkatan pengawas, kerap kali bukan didasarkan pada kemampuan atau pengalaman mereka dalam memberikan supervisi. Dalam banyak kasus, seseorang yang dinilai telah terlalu lama menjabat sebagai kepala sekolah, dipromosi menjadi pengawas sekalipun unjuk kerjanya sebagai kepala sekolah tidak terlalu baik. Jangan heran bila di lapangan kita mendengar begitu banyak keluhan tentang pengawas sekolah yang tidak becus memberikan supervisi.

Kemampuan yang dibutuhkan seorang pengawas, haruslah utuh. Kepala sekolah masih memerlukan bimbingan dalam melaksanakan manajemen yang transparan dan akuntabel, dalam menerapkan kepemimpinan partisipatif. Para guru sangat memerlukan bantuan teknis dalam mengelola pembelajaran di kelasnya. Kemampuan lain yang juga penting adalah kemampuan dalam melaksanakan teknis supervisi.

Manakala kemampuan di atas tidak dimiliki pengawas, jangan terkejut bila yang kita temukan adalah pengawas yang "tidak dihargai" oleh para guru dan kepala sekolah. Mungkin ada pengawas yang bangga karena para guru dan kepala sekolah takut dengannya. Sungguh sayang. Karena rasa takut guru terhadap pengawas, sungguh berbeda dengan rasa hormat. Sungguh ironis karena seharusnya pengawas menjadi figur yang dicintai dan selalu diharapkan kehadirannya oleh para guru.

Patut diduga bahwa topeng menakutkan yang digunakan pengawas sekolah adalah karena dia sesungguhnya merasa kurang mampu dalam memberikan supervisi. Mungkin juga karena kurangnya kemampuan dalam berkomunikasi.

Harapan saya menulis post ini adalah untuk mengubah citra pengawas. Sungguh besar peran yang diharapkan dari seorang pengawas sekolah. Bila memang kemampuan atau penguasaan materi yang menjadi penyebab, maka saatnya Dinas Pendidikan memprioritaskan pengawas sekolah sebagai peserta dalam pelatihan yang berkaitan dengan kurikulum dan pembelajaran. Pembekalan harus diberikan sebelum tugas diberikan kepada seorang pengawas sekolah. Kemampuan dalam melakukan teknis supervisi tentunya harus menjadi bagian tak terpisahkan.

Selamat bekerja para pengawas sekolah ! Jangan hancurkan harapan para guru dan kepala sekolah. Pendidikan berkualitas bagi anak bangsa sangat besar tergantung pada pelaksanaan peran bapak dan ibu.

Ke Sabang




Jum'at tanggal 6 Juli 2007 pagi, awan mendung menggelayut di langit Banda. Sekitar jam 7 pagi kami diantar Husni menuju Pelabuhan Ulee Lhee. Dari sanalah perjalanan menuju Sabang dengan menggunakan ferry akan dilakukan. Ternyata sesampai di Ulee Lhee, puluhan truk dan mobil penumpang sudah antri untuk dapat diangkut ke Sabang. Kami mengambil keputusan untuk menggunakan kapal cepat. Biarlah Husni membawa mobil dengan menggunakan ferry.

Mendung masih bertahan sampai sekitar jam 9 pagi. Hujan disertai angin yang cukup keras bahkan mulai menerpa. Hamidah sempat menyampaikan kekhawatirannya. Saya hanya berdoa dan berharap semoga cuaca menjadi baik menjelang kapal cepat kami berangkat. Alhamdulillah, Allah memang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Tidak lama setelah kami diundang untuk memasuki kapal cepat, langit pun cerah. Bahkan angin pun seolah mendukung keberangkatan kami ke Sabang.

Setelah sekitar 30 menit perjalanan, kapal cepat melabuh di Pelabuhan Balohan - Sabang. Dengan bantuan petugas pelabuhan, tidak sulit menemukan mobil angkutan yang bersedia mengantar kami ke Gapang Beach. Sekitar 45 menit perjalanan ditempuh, melewati hutan dimana cukup sering kami bertemu monyet yang turun ke jalan untuk sekedar mendapatkan pisang dari mereka yang lewat di hutan itu.

Awalnya melihat lingkungan kawasan resort di Gapang Beach yang terlihat sepi, saya enggan menginap disana. Kupikir, lebih banyak orang pergi ke Ibooh, tentunya disana resortnya lebih baik dan pantainya lebih menarik atau bersih. Ternyata .... pantai di Ibooh memang cantik dan sangat indah. Anak-anak dan cucuku pasti suka. Sayangnya, tidak ada penginapan yang cukup representatif untuk keluarga. Disana memang banyak rumah panggung yang disewakan kepada pengunjung. Tetapi, rumah dengan 1 kamar itu tidak dilengkapi dengan kamar mandi. Aduh ..... bagaimana mungkin. Dengan 1 anak berusia 6 tahun dan 2 bayi berumur 1,5 tahun dan 6 bulan, sungguh tak mungkin menempati rumah tak berfasilitas sanitasi ini. Walhasil, setelah mengeluarkan keringat (karena untuk menuju rumah panggung tadi kita harus mendaki bukit), kami memutuskan untuk pindah ke Gapang Flamboyan Resort.


Alhamdulillah, pantai di Gapang ternyata juga bersih dan cantik. Kedua cucuku dan Syifa, langsung senang bermain di pantai berpasir putih. Seorang lelaki menawarkan wisata snorkelling ke Pulau Rubiah. Ketiga anakku langsung bersemangat. Syifa langsung berpikir bagaimana beda pengalaman snorkelling di Bali dengan di Sabang.

Jam 7 pagi keesokan harinya kami berangkat dengan menggunakan perahu. Sewa perahu hanya sebesar Rp 150 ribu rupiah, sedang peralatan untuk snorkelling disewakan dengan harga Rp 50 ribu per unit. Perjalanan ke Pulau Rubiah sekitar 20 menit. Cucu-cucuku sangat senang.

Hampir tak ada pengunjung terlihat di pantai di Pulau Rubiah. Di tempat dimana kami menambatkan perahu, terdapat satu rumah yang menyediakan minuman dan dapat juga diminta menyediakan makanan sesuai pesanan. Tampak 2 pasang wisatawan dari Perancis beserta anak-anak mereka, dan beberapa perempuan bule yang sedang berbincang dengan orang kita. Rasanya, suasana di pantai ini lebih cocok untuk wisata keluarga dibandingkan dengan pantai di Bali.

Snorkelling di Pulau Rubiah ini cukup mengasyikan. Hanya sekitar 30 meter dari pinggir pantai, kita dapat melihat rangkaian terumbu karang yang indah. Terumbu yang berwarna-warni tampak semakin indah dengan banyaknya ragam ikan cantik disana. Waktu satu jam untuk snorkelling atau pun hanya sekedar bermain air seperti yang dilakukan Gilang dan Naufal, tampaknya tidak cukup. Bagaimanapun, kami harus pulang. Sayang Rafie masih terlalu kecil untuk bisa menikmati indahnya pantai dan terumbu karang di pulau Rubiah.

Minggu pagi, anak-anak dan ketiga cucuku diantar Husni ke Kilometer Nol. Wajib, kata Gita, melihat Tugu Kilometer Nol. Sayang kata mereka, jalan menuju kesana tidak terawat. Demikian pula Tugu yang ada, selain kotor dengan coretan tangan jahil, secara umum lingkungan di sekitar bangunan tugu pun tidak terpelihara dengan baik. Minggu malam angin bertiup sangat kencang.

Senin kami pindah ke daerah kota dan menginap di salah satu hotel kecil bernama Holiday yang bersuasana China sangat kental. Memang secara umum, nuansa Sabang lebih seperti Little China Town.

Selasa kami pulang dengan menggunakan ferry. Selain karena cuaca memang cukup bagus, pilihan ini diambil agar anak-anak bisa mendapat pengalaman yang lebih kaya. Alhamdulillah, mimpiku untuk mengajak anak-anak ke Sabang untuk menikmati keindahan alamnya, telah terwujud. Walaupun sayang juga Bima dan Maulida tidak sempat ikut ke Sabang.

Wednesday, July 25, 2007

Kunjungan anak cucu ke Aceh




Juni adalah masa liburan sekolah setelah kenaikan kelas. Syifa naik ke kelas 4 di SD 2 Tiju - Sigli, sementara Gilang (si cucu pertama) sudah terdaftar sebagai murid kelas 1 di Cileungsi Bogor. Memang waktu berjalan tak terasa. Di awal tahun ini sudah ada tiga cucu laki-laki yang memperkaya dan mewarnai hidup dan kehidupan ini.

Dalam kunjungan terakhir ke Jakarta bulan lalu, sempat kuajak Gilang untuk berlibur di Aceh. Katanya, "Nggak ah !". Tapi hanya 3 hari kemudian, mamanya Gilang telpon dan bilang, katanya Gilang ingin bicara. Dengan suaranya yang sangat khas, dia berkata "Eni, (itu panggilan untuk nenek dalam bahasa Sunda) Gilang mau liburan di Aceh" Rasanya tak percaya, cucuku mau berlibur di Aceh. Segera kutelpon Gita dan kutanya apa benar mereka ingin ke Aceh? Ternyata, anak-anak ingin ke Aceh. Kedua anakku, dengan menantu dan calon menantu, beserta 3 cucu yang masih kecil-kecil, akan datang ke Aceh.

Mereka datang hari Kamis tanggal 28 Juni 2007. Perjalanan dimana empat orang dewasa harus menjaga satu anak dan 2 infants memang melelahkan pastinya. Sulit percaya, alhirnya anak-anak dan cucuku bisa juga menginjak tanah Aceh. Setelah menginap semalam di Grand Nangroe Hotel di Banda Aceh, mereka semua kubawa ke Pidie. Bukan hanya Gilang dan Naufal yang senang melihat sapi dan kerbau serta gajah dalam perjalanan ke Pidie, tetapi juga paman, bibi dan orangtuanya. Memang pemandangan alam sangat indah kami nikmati dalam perjalanan ke Pidie.

Hanya dua malam di Pidie, Bima dan Maulida harus segera pulang ke Bandung. Dia harus kembali bekerja. Kedua anakku ini hanya sempat kubawa melihat pantai di Pante Raja dan sungai yang jernih di Tangse. Walaupun hanya kedua tempat ini yang dapat kuperlihatkan pada mereka, sepertinya mereka senang dengan apa yang mereka alami dan lihat. Bagaimanapun, tidak mudah lagi menemukan sungai dengan air yang jernih di Bandung.

Setelah Bima dan Maulida pulang, kubawa anak-anak ke Meulaboh. Di tengah tugasku mengunjungi sekolah binaan dan bekerjasama dengan Satuan Kerja Program Gugus di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Jaya, anak dan cucuku bisa melihat sisa kerusakan yang disebabkan Tsunami lebih 2 tahun lalu. Mereka juga bahkan sempat melihat rumah bantuan yang tertimbun pasir akibat pasang besar yang terjadi bulan sebelumnya.

Selesai tugas di Meulaboh dan Calang, perjalanan dengan anak-anak kami lanjutkan ke Banda Aceh melalui Lham No. Walaupun sempat ada yang mengkhawatirkan kalau-kalau jalan ke Banda dihalangi penduduk, alhamdulillah kami bisa sampai di Banda dengan selamat. Syukur, karena khususnya Gilang dan Naufal, mereka banyak punya kesempatan melihat indahnya pantai dan lautan dengan ombaknya yang kadang sayup terdengar.

Next, ke Sabang !