Friday, May 09, 2008

Masih adakah konflik di Aceh ?

Program yang sekarang sedang kutangani adalah program pelibatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Aceh. Program di bawah Kemitraan Australia - Indonesia ini diberi nama CEPA (COmmunities and Education Program in Aceh). Di antara banyak program bantuan AusAID untuk Aceh, ini adalah salah satu program yang memiliki kekhususan. Dengan kekhususannya program ini hanya diterapkan di kabupaten yang pernah mengalami konflik yang berkepanjangan. Sedikitnya ada 3 kabupaten yang menjadi sasaran program, yaitu Kabupaten Bireuen, Aceh Utara dan Pidie Jaya. Untuk program phase kedua, CEPA akan difokuskan pada 2 kabupaten saja yaitu Bireuen dan Aceh Utara.

Program ini adalah program yang memiliki satu tujuan akhir yaitu meningkatnya peran serta masyarakat dalam membantu meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada 2 tujuan antara. Pertama, membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan terhadap kemampuan diri mereka sendiri; serta membangun kemampuan masyarakat untuk dapat berperan serta secara aktif dalam pembangunan pendidikan. Dan kedua adalah membangun kemampuan pembuat kebijakan dan pelaksana pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan.

CEPA memang berbeda dengan program pembangunan pendidikan yang dilaksanakan oleh donor lainnya. Kekhususan CEPA adalah dalam memadukan aspek pembangunan masyarakat (community development) dengan pendidikan masyarakat (community education) dalam kerangka pembangunan pendidikan (education development). Program ini erat hubungannya dengan amanat pemerintah yang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjamin peningkatan kualitas pendidikan. Saat ini walaupun melalui UUSPN dan sejumlah Keputusan Menteri Pendidikan Nasional telah ditegaskan mengenai pentingnya peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam mendukung pembangunan pendidikan, pada kenyataannya masih banyak Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang "ada tetapi tiada". Ada karena hampir setiap kabupaten dan sekolah mengakui adanya kedua lembaga ini. Tiada, karena mayoritas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut belum mampu berperan secara nyata dalam membantu pembangunan pendidikan, baik di tingkat sekolah maupun di tingkat kabupaten.

Mengapa AusAID memfokuskan kegiatan ini di daerah yang pernah mengalami konflik berkepanjangan ? Mengenai hal ini, bahkan banyak orang Aceh yang tidak memahaminya. Pertemuanku dengan sejumlah orang di Banda Aceh mengantarkan mereka pada pertanyaan :"Apa memang masih ada konflik di Aceh? Apakah program ini tidak mengada-ada ?".

Pertanyaan itu memang tidak mudah dijawab. Orang secara sederhana mengartikan konflik sebagai perang. Bila konflik diartikan sebagai perang, maka jawabnya adalah "tidak ada lagi konflik di Aceh!". Tetapi CEPA diarahkan pada membangun atau membangkitkan kembali kepercayaan, kemampuan dan semangat atau komitmen masyarakat di daerah pasca konflik untuk berpatisipasi aktif dalam membangun pendidikan. Lalu, mengapa harus digunakan pendekatan "resolusi konflik" ?

Konflik dalam bentuk perang memang sudah tidak lagi berlangsung. Tapi dampak dari konflik tadi masih terus terasa. Sebagian besar masyarakat masih tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah. Terhadap sekolah misalnya, masyarakat melihat sekolah sebagai "tidak terbuka dan korup". Di sisi lain, satu kelompok masyarakat juga tidak percaya kepada kelompok lainnya. Bahkan pada tingkat individu pun ditemukan adanya saling ketidakpercayaan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan konflik.

CEPA mencoba mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan seluruh institusi yang berkaitan dengan pembangunan pendidikan, termasuk kepada sekolah, Majelis Pendidikan Daerah (Dewan Pendidikan)dan Komite Sekolah. CEPA memiliki sejumlah prinsip dalam pelaksanaan programnya, yaitu prinsip inklusif, demokratis, partisipatif, transparansi dan akuntabilitas. CEPA menggunakan prinsip-prinsip tadi dalam perencanaan dan pelaksanaan programnya. Dalam pelaksanaan di lapangan, CEPA juga membelajarkan masyarakat melalui penerapan secara praktis prinsip-prinsip tadi dalam kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan sekolah.

Untuk membangun masyarakat yang peduli terhadap pendidikan, CEPA menyediakan Dana Hibah untuk sekolah. Dana Hibah yang dapat digunakan untuk meningkatkan Standar Pelayanan Minimal ini diberikan melalui dan dikelola oleh Panitia Pengembangan Sekolah (PPS). PPS ini dapat dikatakan sebagai Komite Sekolah yang diperluas. Mengapa CEPA tidak menggunakan Komite Sekolah saja ? Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa Komite Sekolah yang telah ada di sekolah, tidak cukup representatif. Asumsi ini berdasar pada kenyataan bahwa pembentukan banyak Komite Sekolah tidak dilakukan secara transparan, partisipatif dan inklusif.

PPS dibentuk dengan menerapkan seluruh prinsip diatas. Ide pembentukan PPS pada awalnya dipertanyakan oleh pihak kabupaten termasuk oleh MPD. Tetapi argumentasi mengenai keberadaan Komite Sekolah serta tujuan pembentukan PPS pada akhirnya dapat diterima oleh pihak pemerintah daerah. Bahkan Program Steering Committee di Kabupaten Aceh Utara menegaskan bahwa ide CEPA ini sangat baik dan bahkan mungkin perlu diadopsi oleh pemerintah daerah. Di lapangan, terbukti keberadaan PPS cukup berfungsi. Masyarakat yang memang merasa terwakili oleh PPS memiliki kepercayaan terhadap wadah masyarakat ini. Dalam mengelola Dana Hibah, melalui sistem pengelolaan dana yang juga menerapkan prinsip tadi, PPS dan masyarakat sama-sama belajar dan mempraktikan tentang partisipasi aktif, pembuatan keputusan bersama, keterbukaan, dan pertanggung jawaban.

Tentunya usaha untuk membangun masyarakat yang mau terlibat secara aktif dalam pembuatan keputusan, terbuka dan bertanggung jawab, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Justru dalam tahap inilah terlihat betapa konflik itu ada dan akan selalu ada. Konflik kepentingan (conflict of interest) selalu ditemukan dalam pelaksanaan di lapangan. Tetapi sekali lagi, dengan sistem yang dikembangkan dan diperkenalkan oleh CEPA, masyarakat ternyata mampu mengatasi konflik yang ada dengan melibatkan masyarakat secara inklusif dalam pembuatan keputusan yang bertanggung jawab.

Konflik yang menurutku paling berat untuk diatasi adalah justru berada pada sisi pemerintah daerah. Ketika masyarakat sudah terbangun kesadaran dan kemampuannya untuk menjaga (fungsi kontrol)agar sekolah dapat menjalankan peran dan fungsinya secara bersih melalui Manajemen Berbasis Sekolah, justru sekolah yang merasa mengalami kendala yang cukup berat. Hal ini dikarenakan pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tingkat kabupaten dan kecamatan, belum memiliki semangat apatah lagi menerapkan the clean and good governance.

Saat ini CEPA masih sedang dalam tahap bekerjasama dan bekerja bersama-sama dengan pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dan komitmen pemerintah daerah untuk mencapai pelayanan pendidikan yang lebih baik. Sambutan Dinas PK, Kantor Departemen Agama, MPD dan institusi lainnya termasuk BAPEDA dan DPRK; merupakan modal yang sangat penting untuk mencapai hal itu. Semoga !

Kabar dari NAD

Thanks to Telkomsel Flash, sekarang aku bisa akses internet kapanpun aku mau. Malam ini, aku ingin share tentang kejadian di Bireuen - NAD beberapa hari ini.

Tiga hari belakangan ini isu tentang sms dan telepon misterius menjadi topik pembicaraan semua orang. Pesan berbunyi " Jangan mengangkat atau menerima telpon bernomor MERAH atau dengan kode 08666 atau 0666, karena telpon itu bisa menelan jiwa. Hari ini sudah disiarkan di berita, terjadi di Jakarta dan sudah terbukti, sekarang masih diusut oleh Kepolisian. Dugaan sementara adalah kasus PEMBUNUHAN JARAK JAUH MELALUI TELEPON GENGGAM (HP) oleh DUKUN ILMU HITAM. Si penelpon adalah roh gentayangan yang mencari mangsa. Harap dimengerti dan dikirimkan ke teman atau semua saudara. Harap saling membantu".

Berbagai respon muncul dari berbagai pihak. Anak-anak sekolah yang pertama panik. Satu hari setelah isyu beredar, koran Serambi mengulas isyu ini dan mengingatkan masyarakat untuk tidak percaya pada isyu ini yang menjurus kepada syirik. Memang bukan hanya anak-anak yang termakan isyu ini. Di hari ketiga isyu semakin meluas dengan beredarnya kabar bahwa "di Matang (salah satu daerah di Kab Bireuen) sudah ada korban. Seseorang menerima telepon dan sesaat kemudian pipinya seolah terbakar. Korban kemudian dirujuk ke Rumah Sakit di Banda Aceh".

Hampir setiap orang membicarakan masalah ini. Teman-teman yang menggunakan RBT (ojek), becak ataupun kendaraan umum; semua mengaku ditanyai oleh banyak orang. "Kami orang awam, tapi... mungkinkah itu terjadi?". Bahkan banyak orang yang saling berkirim sms dan telpon agar tidak mengaktifkan HP pada pukul 09.00 12.00 hari Jum'at ini. Salah seorang staff di kantor juga menerima telpon dari seseorang yang mengaku ibunya, yang mengatakan "Jangan aktifkan telepon". Si penerima telpon yakin itu bukan ibunya, karena baik nomor HP maupun suaranya menunjukkan itu bukan ibunya. Mungkin seseorang ingin menelpon anaknya tapi karena panik maka terjadi salah sambung.

Aku melihat respon masyarakat sedikitnya dapat dikelompokkan ke dalam ada 2 bagian besar. Pertama, kelompok yang menerima isyu tersebut mentah-mentah. Mereka lalu mengirimkan sms atau bahkan menelpon saudara atau teman, mengingatkan mengenai isyu santet ini. Hal ini yang membuat isyu semakin meluas dan membuat kepanikan. Menurut teman-teman, hal ini dapa dipahami karena selama ini mereka masih trauma dengan adanya bencana Tsunami, gempa yang sering terjadi, serta konflik yang berkepanjangan. Pada umumnya, anak-anak dan orang tua (parents)termasuk ke dalam kelompok ini. Kedua, kelompok yang mencoba tetap rasional dengan mencari rasinalisasi dari pesan tersebut.

Siang tadi sekitar ba'da Jum'at, seorang teman di Kecamatan Simpang Mamplam menerima sms yang menyatakan bahwa "apa yang terjadi adalah pengiriman pesan yang mengandung radiasi sinar ultra merah yang memang membahayakan si penerima". Tentu saja, isyu yang sama "panasnya" ini juga disebarkan si penerima ke teman dan saudaranya. Entahlah, akupun tak paham apa yang sedang terjadi. Yang pasti berita tentang adanya korban dari Matang pun, tak ada yang mengaku melihat langsung. Semua hanya bersandar pada "kabarnya". Dan yang juga sama pastinya, banyak orang berpikir bahwa pesan tentang radiasi sinar ultra merah juga "dirasakan layak untuk disebarluaskan". Dampaknya, ribuan sms bertebaran di antara pengguna HP tentang isyu yang tidak jelas juntrungnya ini. Seseorang di Banda Aceh mengaku, dalam hari pertama ia mengabiskan pulsa sebesar sekitar Rp 10,000 untuk mengirimkan berita tentang isyu tersebut. Dari sisi ini mungkin kita bisa kuat menduga bahwa pesan tentang adanya santet dan penyebaran sinar ultra merah melalui telpon genggam, memang bertujuan untuk kepentingan memperoleh keuntungan materi semata. Bila ini benar adanya, sungguh tidak bertanggung jawab orang yang memunculkan isyu ini.

Berita yang juga muncul di koran Serambi adalah penembakan seorang ibu muda di kecamatan Bambi Kabupaten Pidie. Perempuan beranak 4 ini ditembak oleh 2 laki-laki ketika ia sedang menyusui anak bungsunya yang berusia 6 bulan. Polisi sudah mengidentifikasi pelaku dan kuat menduga bahwa kejadian itu dilatarbelakangi oleh soal utang piutang. Perempuan itu ditembak di rumahnya pada pukul 11 siang, ketika suami dan anggota keluarga lainnya juga sedang berada di rumah. Inna lillahi wa inna ilaihi ro'jiun.

Berita lainnya adalah tentang seorang pemuda yang menggorok leher ibu kandungnya. Minggu lalu ada kasus dimana seorang pemuda menggorok leher ayah kandungnya. Kabarnya, pemuda tadi stress. Polisi menyatakan bahwa mereka mengalami stress, tidak mampu berpikir jernih karena pengaruh narkoba, dan merasa menerima wangsit untuk membunuh orangtua mereka. Apapun itu, kenyataannya memang banyak ditemukan pemuda yang mengalami stress. Jangan pula disangka daerah di NAD ini bebas dari Narkoba. Bahkan di daerah pesisir Kabupaten Bireuen, daerah yang penduduknya memiliki kondisi ekonomi yang tidak terlalu baik, sering terdengar berita adanya penangkapan pengguna dan penyebar shabu-shabu.

Minggu ini salah satu tabloid juga memuat artikel tentang "ucapan yang dikeluarkan oleh Gubernur NAD". Kabarnya pak Gubernur ini memang dikenal dengan kebiasaannya mengeluarkan kata-kata kasar. Dalam kejadian minggu ini, sang Gubernur memaki dua orang wartawan sesaat setelah wawancara dilakukan. Konon sang Gubernur geram karena pemberitaan media yang dinilainya mengada-ada. Pak gubernur bahkan sampai mengeluarkan kata-kata "Babi kau !". Beberapa teman dekat beliau mengatakan "Itu memang sudah karakter dia. Susah untuk mengubahnya". Karakter atau bukan, para wartawan setuju bahwa itu bukan alasan untuk pembenaran. Mereka menuntut agar pak Gubernur melakukan somasi.

Dari Banda Aceh minggu ini ada berita tentang penembakan seorang Ketua RT oleh 2 orang berkedok. Kabarnya kedua orang tersebut memang sudah mengancam sang Ketua RT untuk memasukkan namanya sebagai calon penerima bantuan dari salah satu donor. Ketua RT menanggapinya dengan mengatakan bahwa hal itu masih dalam proses seleksi. Hasil seleksi belum dikeluarkan oleh donor tapi sang penjahat berkedok sudah tidak sabar dan memutuskan untuk mengeksekusi pak RT. Sungguh tragis.

Dari Lhokseumawe ada lagi berita tentang bom rakitan yang dilemparkan 2 lelaki pengendara sepeda motor. Bom yang dilemparkan di daerah pertokoan di tengah malam ini melukai seorang lelaki yang berada di sekitar lokasi. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.

Program yang kami laksanakan (membangun patisipasi masyarakat untuk membantu pembangunan pendidikan di sekolah/madrasah) sejak awal Februari mulai diterapkan di Aceh Utara. Staff kami yang bertugas di Kecamatan Paya Bakong melaporkan bahwa di daerah tersebut masih banyak ditemukan bom yang masih aktif, tergeletak di pinggir jalan. Tidak heran bila ada berita tentang korban ledakan bom dari kabupaten ini.

Mungkin orang bertanya, mengapa aku mau bekerja di daerah yang bahkan sebagian orang Aceh pun takut mendengarnya. Dulu selama 1,5 tahun aku bekerja di wilayah Kabupaten Pidie. Daerah yang dianggap basis GAM. Sekarang sudah sekitar 6 bulan aku bekerja di wilayah kabupaten Bireuen dan Aceh Utara. Daerah yang juga pernah mengalami konflik yang berkepanjangan. Selama 2 tahun berada di Aceh, aku merasa aman. Walaupun berita tentang penculikan, penembakan, perampokan atau pemboman; masih selalu dapat dibaca di koran-koran lokal, aku tetap merasa aman. Karena secara umum, kondisi memang aman. Hampir seluruh kejadian penculikan, penembakan atau pemboman;dilakukan tidak secara random. Kegiatan masyarakat pun secara umum berlangsung normal.

Hal lain yang membuatku betah bekerja dengan masyarakat Aceh adalah karena mereka sangat jujur dan terbuka. Jujur dan berani bicara apa adanya. Mungkin terdengar keras bagi masyarakat di Jawa, tetapi menurutku orang Aceh lebih jujur. Mereka tidak biasa dengan euphimisme. Menghaluskan kata yang bisa berdampak pada "melemahkan" arti pesan yang ingin disampaikan. Kritik pada Sang Gubernur adalah salah satu contohnya. Tidak ada satu pun pihak yang mencoba membenarkan apa yang dilakukan sang Gubernur. Masyarakat Aceh pun terbuka pada kritik. Tentu saja ini secara umum. Para birokrat umumnya masih "tegang" bila menerima kritik. Tapi di tingkat bawah, sekolah dan masyarakat misalnya, mereka sangat terbuka terhadap kritik dan masukan konstruktif. Mereka juga memiliki keinginan yang sangat kuat untuk berubah kearah yang lebih baik. They are eager to learn. Dari pengalaman bertemu dan bekerja bersama masyarakat di sejumlah kecamatan, dapat dibaca kesadaran dan keinginan mereka untuk membangun generasi yang lebih baik. Bahkan KPA pun yang anggotanya adalah mantan kombatan GAM, mendukung penuh program kami ketika mengetahui bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Mereka bahkan bisa menerima bahwa dalam implementasi program kami tidak dikenal adanya Pajak Nangroe. Program kami tidak memberikan toleransi bagi adanya pajak untuk siapapun. Program yang berada di bawah kemitraan Australia - Indonesia ini, saat ini mungkin merupakan satu-satunya program yang memberikan Dana Hibah untuk masyarakat yang tidak menyediakan dana untuk Pajak Nangroe. Dan alhamdulillah, pengurus dan anggota KPA bisa memahami hal ini.

Kesimpulan yang bisa kuambil adalah bahwa orang Aceh sangat mengerti tentang pentingnya pembangunan pendidikan. Mereka juga dapat memahami dan menerima alasan tentang kebijakan yang kami ambil, misalnya tentang Zero Tolerance untuk pajak Nangroe. Bahkan prinsip demokrasi, tranparansi dan akuntabilitas yang kami tanamkan melalui program pembangunan masyarakat untuk pendidikan; diterima dengan sangat baik. Siang tadi di SDN 15 Simpang Mamplam, Pak Amir Ketua PPS (Panitia Pengembangan Sekolah) yang berasal dari unsyur masyarakat mengatakan bahwa dengan adanya program CEPA (Communities and Education Program in Aceh), saat ini paling tidak 50 % dari penduduk desa mengetahui dan membantu upaya pembangunan pendidikan di sekolah. "Dulu masyarakat tidak dekat dengan sekolah. Sekarang ini sedikitnya 50 % dari penduduk desa mengetahui dan mendukung apa yang sedang dilakukan di sekolah".

Beberapa good stories dari lapangan juga menunjukkan cukup banyak perubahan. Praktik untuk menjalankan demokrasi, transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam program CEPA, sudah diadopsi oleh masyarakat di kecamatan binaan. Pola pemilihan PPS sudah diadopsi dalam pemilihan Geuchik (Kepala Desa) di sejumlah desa di kecamatan binaan. Masyarakat sudah mulai menjalankan peran kontrol terhadap manajemen sekolah sejalan dengan pemahaman mereka tentang peran serta masyarakat dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah. Di tingkat kabupaten, juga terlihat semangat untuk melakukan perubahan. Majelis Pendidikan Daerah (MPD) atau Dewan Pendidikan sebutannya di propinsi lain, bertekad untuk menjadi institusi yang benar-benar mampu berperan dalam mewarnai kebijakan yang lebih berpihak kepada kebutuhan dan aspirasi masyarakat. DPRK juga telah bertekad untuk lebih berperan dalam mendukung legitimasi dan fungsi peran MPD, bahkan juga dalam menyediakan dana pendamping untuk menjamin keberlanjutan dan penyebarluasan program ke kecamatan lain.

Apa yang sudah dicapai, bukanlah hal yang dapat dianggap kecil. Tapi bagaimanapun perjalanan masih panjang dan tekad atau komitmen harus diwujudkan dalam perbuatan. Kami masih berusaha bekerja bersama untuk mewujudkan agar komitmen yang telah ada dapat diwujudkan dalam tindakan yang lebih nyata. Semoga !