Monday, November 16, 2009

Surat untuk ibu Mimi

Dear Ibu Mimi,

Secara khusus saya belum memiliki pengalaman mengenai isyu yang ibu kemukakan. Sekalipun demikian saya ingin menyampaikan pandangan saya berdasarkan sedikit pengalaman saya dalam rangka penyadaran dalam bidang pendidikan, mudah-mudahan ada manfaatnya.

Bagaimana mengubah pola pikir/cara pandang masyarakat (mindset) agar bisa menerima hak-hak para penyandang cacat dalam ruang publik?

Untuk mengubah pola pikir atau cara pandang masyarakat mengenai hak penyandang cacat memang memerlukan usaha yang serius. Untuk bisa mengarusutamakan hak penyandang cacat di ruang publik hal pertama yang harus ada adalah political will dari para pembuat kebijakan secara lintas sektor. Hanya dengan adanya kehendak politis dari para pembuat kebijakan inilah kita bisa membuka cara pandang masyarakat tentang hak penyandang cacat melalui publikasi, sosialisasi dan advokasi.

Mengapa pembuat kebijakan di lintas sektor penting memiliki pemahaman yang utuh dan kesadaran tentang hak penyandang cacat ? Mari kita lihat pengalaman di negara lain sebagai contoh. Hak penyandang cacat sudah diakomodasi dalam berbagai sektor. Semua fasilitas umum diharuskan menyediakan sarana untuk memudahkan akses penyandang cacat. Bahkan jalan-jalan di kampus atau kompleks fasilitas umum juga menyediakan path way khusus untuk penyandang cacat netra. Sementara di kampus-kampus kita, bahkan di UPI yang membuka jurusan PLB (pendidikan luar biasa) pun, tidak disediakan jalur khusus untuk memudahkan akses peserta didik tuna netra. Hal ini merupakan indikasi bahwa kesadaran untuk memunculkan political will itu belum ada, bahkan di kalangan pendidik atau manajer pendidikan itu sendiri.

Khususnya dan menyadarkan keinginan Mainstreaming Penempatan siswa di kelas reguler akan membuat mereka memiliki lingkungan belajar yang lebih baik, lebih dapat diterima oleh teman mereka yang normal (tidak cacat), dan menjadi lebih mandiri. Pengarusutamaan juga memberikan system pembelajaran yang lebih adaptif bagi individu anak.

Langkah penting pertama yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran mengenai hak penyandang cacat khususnya pada tingkat pembuat kebijakan dan masyarakat (komunitas) sekolah. Pola pikir dan cara pandang pembuat kebijakan yang sesuai mengenai hak penyandang cacat ini diperlukan agar pengarusutamaan disabilitas mendapat perhatian dan menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan Rencana Strategis Pendidikan di tingkat propinsi maupun kabupaten. Hal ini penting terutama karena pengarusutamaan disabilitas memerlukan strategi dan pendekatan yang komprehensif dan integratif. Di tingkat pembuat kebijakan kelompok sasaran yang strategis adalah Dinas Pendidikan, Kantor Departemen Agama, DPRD, BAPPEDA dan Dewan Pendidikan atau Majelis Pendidikan Daerah (MPD). Upaya penyadaran juga perlu dilakukan pada masyarakat sekolah, termasuk didalamnya kepala sekolah, guru, siswa serta wali murid yang diwadahi dalam organisasi komite sekolah. Masyarakat sekolah merupakan target penting karena siswa penyandang cacat akan berada di lingkungan ini dan kesadaran serta pola pikir masyarakat sekolah ini akan mempengaruhi keberhasilan belajar siswa penyandang cacat melalui penciptaan lingkungan yang kondusif baik di dalam maupun di luar ruang kelas.

Dalam usaha mengubah pola pikir dan cara pandang mengenai hak penyandang cacat, khususnya dalam pengarusutamaan disabilitas, dapat kita sajikan argument yang mendukung pengarusutamaan maupun yang menentangnya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya setiap manusia akan menerima (mengadopsi) suatu pola pikir bila mereka mengetahui keuntungan atau kemanfaatkan dari konsep yang kita tawarkan.

Data mengenai jumlah dan sebaran siswa cacat juga perlu disajikan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi karena khususnya di tingkat masyarakat sekolah masih ditemukan banyak masyarakat sekolah yang berargumen bahwa di lingkungan sekitar sekolah tidak terdapat anak cacat sehingga sekolah tidak perlu melakukan tindakan antisipasi (misalnya : menyiapkan ramp untuk memudahkan akses bagi anak cacat, toilet khusus untuk siswa cacat, dll).

Strategi apa yang dapat diterapkan untuk mengarusutamakan disabilitas ke dalam sistem pendidikan kita?

Strategi pertama adalah menjamin bahwa pengarusutamaan disabilitas masuk ke dalam Rencana Strategis Pendidikan. Hanya dengan masuk ke dalam Renstra Pendidikan maka pengarusutamaan disabilitas bisa didekati secara komprehensif dan terpadu integrated). Telah sama kita ketahui bahwa pengarusutamaan disabilitas hanya bisa berhasil bila didukung oleh kebijakan dan aturan yang kuat, pengembangan kapasitas (capacity building) yang memadai, penyediaan tenaga dan bantuan teknis dan konsultasi dari tim ahli, serta penyediaan sarana dan fasilitas yang sesuai.
Pengarusutamaan disabilitas juga harus meliputi penjaminan dilakukannya deteksi dini, intervensi, layanan terapetik, dan penyediaan alat bantu untuk anak/siswa cacat. Untuk memfasilitasi pengarusutamaan disabilitas pada sekolah formal maupun non-formal perlu juga dilakukan penguatan kapasitas guru dan pengawas sekolah serta pelatih/fasilitator kabupaten dan propinsi.

Hambatan terhadap pengarusutamaan disabilitas juga kadang muncul dari kalangan orangtua siswa. Orangtua siswa cacat terkadang ragu atau khawatir untuk memasukkan anaknya ke sekolah karena biaya (cost) yang mereka keluarkan tidak akan sebanding dengan nilai manfaat yang akan mereka terima kelak (return). Sementara banyak orangtua siswa normal (non-disabled) yang berfikir bahwa adanya siswa cacat dikelas anak mereka hanya akan merugikan anak mereka (missal : kurang mendapat perhatian guru karena guru terserap waktu dan perhatiannya untuk siswa yang cacat, dsb). Dalam hal ini maka Komite Sekolah di tingkat komunitas sekolah dan Dewan Pendidikan atau Majelis Pendidikan Daerah di tingkat kabupaten bertanggung jawab dalam upaya penyadaran masyarakat ini.

Penelitian yang dilakukan UNICEF Regional Asia Selatan di Bangladesh menunjukkan tingginya anak penyandang cacat yang tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah karena kemiskinan (tingginya biaya untuk menyekolahkan anak penyandang cacat yang tidak sebanding dengan apa yang dapat dihasilkannya kelak di pasar kerja). Penelitian juga menunjukkan tingginya angka drop out siswa penyandang cacat, karena sikap dan lingkungan yang tidak ramah (unfriendly) baik di rumah maupun sekolah. Siswa penyandang cacat kerap mendapat perlakuan yang kurang layak dari teman-temanya, dan kebanyakan guru dan pengelola di sekolah juga tidak terlalu memahami ide tentang pendidikan inklusif. Selain itu infrastruktur sekolah juga seringkali tidak ramah (unfriendly) dilihat dari sisi mobilitas siswa. Banyak sekolah misalnya yang tidak memiliki ramp (akses berupa jalan yang landai) yang dapat dilalui kursi roda. Pintu ruang kelas pun tidak cukup lebar untuk bisa dilalui kursi roda. Pengelolaan kelas atau pengaturan perabot di ruang kelas kurang mempertimbangkan kebutuhan anak cacat. Belum lagi toilet yang disediakan khusus untuk anak cacat.
Dari uraian di atas jelas bahwa strategi pengarusutamaan disabilitas harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.
• Kebijakan dan aturan yang menegaskan kewajiban dan tanggung jawab sekolah untuk menerima dan melayani siswa cacat
• Aturan tentang standar bangunan dan fasilitas sekolah yang responsif terhadap kebutuhan anak/siswa cacat. Saat ini sedikit sekali sekolah yang memiliki ramp (jalan yang landai) untuk memudahkan akses siswa yang menggunakan kursi roda. Belum lagi lebar pintu ruang kelas yang terlalu sempit untuk dapat dilalui oleh kursi roda, serta toilet yang dibangun tanpa memperhatikan kebutuhan siswa penyandang cacat.
• Sistem pre-service dan in-service training bagi guru reguler dalam teknik memfasilitasi siswa cacat. Para guru perlu mendapatkan orientasi mengenai berbagai kecacatan pada siswa dan pelatihan dasar (basic training) tentang bentuk komunikasi bagi siswa tuna rungu dan tuna netra. Para guru juga perlu dilatih dalam metoda mengajar untuk memfasilitasi siswa cacat karena metoda mengajar tradisional sangat terbatas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa yang tentunya berbeda. Selain itu kebutuhan akan alat dan bahan belajar pun berbeda bagi siswa penyandang cacat.
• Dukungan berbasis sekolah. Sekolah dapat membentuk tiga jenis tim pendukung. Tim pertama adalah untuk menjamin siswa cacat hadir di sekolah secara reguler. Tim ini terutama bertugas memberikan dukungan moral bagi keluarga-keluarga yang memiliki siswa cacat, mengorganisasikan interaksi diantara mereka dan menjaminj bahwa anak-anak mereka hadir secara reguler di sekolah. Tim pertama bisa dibentuk dari para orangtua siswa di bawah tanggung jawab komite sekolah. Tim kedua terdiri dari para guru yang sebelumnya telah dilatih mengenai pendidikan inklusif. Tim ini bertanggung jawab untuk memberikan orientasi kepada guru baru dan para siswa tentang isyu disabilitas. Tim ketiga terdiri dari para siswa yang dipilih berdasarkan minat, kesediaan dan kesukarelaan mereka dalam membantu siswa cacat. Tugas utama mereka adalah membantu siswa cacat dalam kegiatan di ruang kelas maupun area bermain. Mereka juga diharapkan dapat mengunjungi rumah siswa cacat bila dalam beberapa hari siswa tersebut tidak masuk sekolah.
• Supervisi dan monitoring. Supervisi program pendidikan inklusif perlu dilakukan pada berbagai tingkatan, di dalam dan di luar sekolah. Kepala sekolah melakukan supervisi terhadap kegiatan yang dilakukan di sekolah. Pengawas sekolah dan kepala UPTD melakukan supervisi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan disabilitas di tingkat gugus dan kecamatan, sementara Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama (seksi Mapenda) melakukan supervisi untuk tingkat kabupaten

Bagaimana memasukkan pemajuan tentang pemahaman disabilitas ke dalam pelajaran di sekolah-sekolah yang dapat memperkuat prinsip "Bhineka Tunggal Ika" dalam sistem pendidikan kita

Menurut saya memasukkan pemahaman tentang adanya siswa yang berbeda (berkebutuhan khusus) tidak perlu selalu dilakukan dengan mengintegrasikan kedalam pelajaran, walaupun tentu saja sebaiknya siswa (non disabled) lebih dulu perlu diberi orientasi mengenai anak berkebutuhan khusus atau cacat. Dengan melibatkan siswa secara aktif ke dalam kegiatan tim sekolah untuk mendukung anak berkebutuhan khusus, mereka bukan hanya akan memiliki pemahaman mengenai hal itu melainkan juga kemampuan dalam membangun hubungan sosial yang positif dengan berbagai ragam kelompok social. Kemampuan yang kelak akan dibutuhkan dan sangat penting untuk keberhasilannya dalam kehidupan di lingkungan kerja, keluarga maupun masyarakat. Selain itu siswa juga akan meningkat self-esteem-nya, perilakunya tidak diskriminatif , keterampilan interpersonalnya meningkat (misalnya: berkolaborasi, kerjasama, dll), dan memiliki perilaku sosial yang positif (ramah, rendah hati, dll).
Penyediaan fasilitas dan atau pengelolaan ruang kelas yang responsif terhadap siswa berkebutuhan khusus secara tidak langsung juga akan membangun pemahaman dan kesadaran siswa non-disabled mengenai karakteristik dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.