Sunday, July 27, 2008

Aceh oh ... Aceh

Dalam minggu ini listrik di beberapa kabupaten padam. Di Bireuen, 2 hari 2 malam listik padam total. Di masyarakat berkembang berbagai informasi tentang padamnya listrik ini. Ada yang mendapat info dari sumber yang katanya dapat dipercaya bahwa "ada sabotase di Kuala Simpang, tower PLN disana ditumbangkan". Info lain menyebutkan bahwa ada kerusakan di tower PLN di Kuala Simpang, tetapi bukan sabotase.

Teman-teman menceritakan bahwa pada masa konflik, listrik juga sering padam. Kadang kalau ada sabotase maka listrik bisa padam selama sekitar 3 minggu bahkan bisa sampai 1 bulan. Mendengar cerita tersebut, terang saja saya agak khawatir. Pada masa dimana kita sangat bergantung kepada listrik; bahkan untuk pekerjaan domestik yang sederhana sekalipun; matinya listrik cukup dirasa berat. Saya pun segera membeli genset agar pekerjaan di rumah tidak terganggu dengan mastinya listrik. Baru 1 hari genset dipakai, malam harinya listrik PLN menyala lagi. Padahal sebelumnya juga ada kabar bahwa paling tidak listrik akan mati selama 4 (empat) hari. Besoknya, di surat kabar lokal ada pernyataan Direktur PLN yang menyatakan bahwa "Tidak akan ada lagi pemadaman listrik di Aceh". Selain senang mendengar berita itu, ada juga senyum di bibir karena saya sudah terlanjur membeli genset.

Rupanya pernyataan Direktur PLN yang ditulis di surat kabar, tidak terbukti. Sehari setelah pernyataannya dipublikasikan, listrik padam lagi. Bukan hanya di Bireuen tetapi juga di beberapa kota, termasuk Banda Aceh dan Aceh besar. Hari ini surat kabar Serambi mengangkat berita tentang pernyataan pelanggan listrik. Menurut pelanggan, "Bebas pemadaman omong kosong !".

Masalah listrik juga menerpa ribuan rumah yang telah dibangun BRR. General Manager (GM) PLN Wilayah Aceh menyebutkan ada 80.000 unit yang dibangun BRR belum memiliki listrik. Informasi ini dipertanyakan oleh BRR Aceh - Nias. Menurut juru bicara BR Aceh - Nias, biaya pemasangan listrik untuk seluruh rumah yang dibangun BRR akan ditanggung BRR sedang pelaksanaan di lapangan diserahkan kepada PLN. Anggaran untuk pengadaan listrik yang disediakan BRR ialah sebesar Rp 460 milliar. Masalahnya PLN tidak pernah melaporkan kebutuhan untuk pelaksanaan pemasangan listrik di lapangan.

Aduh.... malu kita sama anak-anak. Untuk masalah sepenting ini saja tidak ada koordinasi. Apa susahnya menjalin komunikasi dan koordinasi, apalagi untuk kepentingan rakyat banyak.

Terus terang, ada banyak hal yang membuat saya nyaman dan merasa aman di Aceh. Banyak sistem nilai masyarakat yang sudah tidak lagi ditemukan di tanah Jawa (Priangan khususnya), masih dilaksanakan dengan sangat baik. Kebiasaan dan adat yang digunakan dalam perkawinan misalnya, masih diterapkan dengan cukup ketat. Yang paling saya kagumi adalah kebiasaan masyarakat dalam takdziah. Setiap ada yang meninggal dunia, maka masyarakat akan beramai-ramai bertakdziah. Mereka datang dari tempat yang dekat maupun jauh. Karena di desa-desa umumnya masyarakat tak memiliki kendaraan (mobil) sendiri, maka mereka akan menyewa kendaraan bak terbuka dan menggunakannya untuk bertakdziah. Tidak harus mereka kenal secara pribadi dengan almarhum atau keluarganya. Mereka datang karena percaya itulah yang disunahkan oleh Rasulullah s.a.w. Mereka membayar ongkos secara berpatungan (iuran). Di rumah duka mereka berdoa (biasanya membaca surat Yasin) dengan dipimpin oleh tengku atau ustadzah yang menyertai mereka. Sungguh mengharukan. Hanya karena mengharap ridlo Allah SWT, mereka ikhlas melakukan perjalanan yang cukup jauh, dengan membayar ongkos mobil walaupun tidak semua dari mereka termasuk golongan yang mampu. Itulah orang Aceh. Bila mereka percaya, sayang dan menghormati kita, apapun akan mereka lakukan untuk memberikan yang terbaik. Semoga semua kebaikan orang-orang yang melakukan takdziah diterima sebagai amal baik dan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT. Aamiin.

Ketika saya mulai masuk ke Aceh, saya masuk dengan pikiran yang sangat positif. Ini adalah Aceh, yang masyarakatnya menyebut Aceh sebagai Serambi Mekah. Tentunya orang akan bersikap dan berperilaku Islami. Karena itu saya agak terkejut ketika melihat ada insiden dimana seorang lelaki turun dari motornya dan memaki-maki pemilik kendaraan lain ketika hampir terjadi tabrakan. begitu juga ketika saya membaca berita tentang cukup maraknya kasus korupsi di berbagai kabupaten. Banyak pejabat dipenjarakan karena kasus korupsi. Banyak anggora DPRD dihujat masyarakat karena meminta hak yang berlebihan tanpa peduli keadaan masyarakat yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan. Semakin hari semakin banyak informasi yang saya terima. Seorang Kepala Sekolah bingung ketika menerima bantuan rehabilitasi gedung sekolah. Ketika saya menanyakan apa sebabnya, karena seharusnya ia justru merasa senang, ternyata ia bingung karena belum juga ia terima uangnya, Dinas PK sudah mengingatkan untuk "menyisihkan" dana sebesar 5 % untuk Dinas PK. Bagaimana ini ? Salah seorang stafku dari gugus Jeunib mengatakan, "Itulah bu, orang Aceh ini takabbur. Menyebut Aceh sebagai Serambi Mekah, padahal kelakuan kita seperti ini".

Ada 2 (dua) kasus yang mungkin bisa menggambarkan bagaimana sifat orang Aceh. Ada 2 (dua) sekolah yang akan diberikan bantuan Dana Hibah untuk meingkatkan kualitas fisik sarana sekolah. Walaupun sekolah itu sudah memiliki jumlah ruang yang cukup, keduanya ngotot meminta dibangunkan 3 ruang kelas berlantai dua. Apa alasan mereka ? Hanya untuk prestise !!! Hanya ingin mendapat predikat "sekolah tingkat". Walaupun sudah dijelaskan berbagai macam pertimbangan, mereka ngotot ingin dibangunkan gedung bertingkat. Temanku yang asli orang Aceh mengatakan, "Inilah orang Aceh!".

Bagi saya, apa yang saya temui dan alami, menunjukkan bahwa Aceh adalah bagian dari Indonesia dan bagian dari bumi kita. Masyarakat di belahan bumi manapun, tidak semuanya suci atau memiliki sifat dan kelakuan yang terpuji. Tetapi juga tentu tidak semuanya buruk. Masih lebih banyak anggota masyarakat yang memiliki sifat, pandangan dan kelakuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Harapan kita tentu saja, semoga para pemimpin, para pembuat kebijakan; memiliki kearifan sehingga patut menjadi teladan masyarakat. Untuk Aceh yang sedang memulihkan diri setelah mengalami konflik berkepanjangan, kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpinnya memang menjadi kebutuhan utama yang sangat penting. Satu kata dan perbuatan, adalah pemimpin yang dapat dipercaya.

No comments: