Friday, March 20, 2009

Isyu pendidikan di NAD

Dalam harian Serambi Kamis 19 Maret 2009 diberitakan tentang pertemuan di Meuredu yang membahas mengenai isyu pendidikan di NAD. Dalam pertemuan tersebut Anas M. Adam, mantan Kepala Dinas NAD menyatakan bahwa untuk NAD dana bukanlah kendala untuk pembangunan pendidikan. Pernyataan tersebut didasarkan pada pengetahuannya bahwa dana untuk pendidikan di NAD telah, sedang dan akan terus diluncurkan baik oleh pemerintah RI maupun oleh donor internasional.

Anas lebih lanjut menyebutkan adanya tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan di NAD, yaitu distribusi guru, dukungan orang tua terhadap belajar murid dan tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukung.

Mengenai distribusi guru Anas mencontohkan secara lebih rinci bagaimana kondisi distribusi guru di NAD. Masih banyak ditemukan guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya. Guru matematika mengajar Bahasa Indonesia, ahli administrasi pendidikan mengajar Kimia, dll. Tentu dengan mudah kita dapat membayangkan atau memperkirakan bagaimana hasil pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang tidak memiliki kualifikasi atau kemampuan yang sesuai dengan yang disyaratkan.

Di Kabupaten Bireuen masalah distribusi dan penempatan guru bukan hanya berkaitan dengan ketidaksesuaian kualifikasi dengan penugasan, melainkan juga berkaitan dengan penempatan guru. Di tingkat sekolah dasar misalnya, tampak jelas penempatan guru yang tidak merata. Hampir setengah dari jumlah sekolah binaan di gugus Jeunib dan Simpang Mamplam yang terletak di bagian barat kabupaten ini, masih memiliki guru dalam jumlah yang terbatas. SDN 17 Simpang Mamplam misalnya hanya memiliki 3 (tiga) guru yang berstatus pegawan negeri. Karena sekolah tidak mampu membiayai pengadaan guru honor, maka ketiga guru ini harus mengajar dalam dua shift, pagi dan siang hari. Sementara di gugus Peusangan, terdapat sekolah yang memiliki jumlah guru 19 orang (SDN 8 Peusangan) walaupun di sekolah ini hanya terdapat 9 rombongan belajar. Ini hanyalah sekelumit contoh tentang distribusi guru yang tidak merata.

Isyu mengenai distribusi guru ini juga pernah diungkapkan oleh Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Bireuen dalam suatu acara Diskusi Publik tentang partisipasi masyarakat untuk pendidikan. Beliau yang didampingi Kepala Bidang Data dan Informasi Pendidikan menyatakan bahwa tidak mudah membenahi masalah distribusi ini. Walaupun tidak diucapkan secara eksplisit, tersirat bahwa saat ini pemerintah memang masih belum bisa secara tegas menempatkan guru di satu sekolah karena adanya katebelece.

Mungkinkah pemerintah daerah mengubah cara pandang dan sikap dalam membuat keputusan? Dinas Pendidikan di seluruh kabupaten di NAD sudah mendapat advokasi dan pendampingan dalam penyusunan Rencana Strategis Pendidikan. Dinas Pendidikan sudah mendapat bantuan dan pendampingan dalam penyusunan sistem informasi pendidikan. Tetapi bila pemerintah daerah belum memiliki komitmen untuk mengubah cara dalam pembuatan kebijakan pendidikan, masih lebih memperhatikan kepentingan pribadi atau golongan daripada memperhatikan kepentingan bagi pembangunan SDM itu sendiri, maka sampai kapan pun pembangunan pendidikan di NAD tidak akan mampu menghasilkan manusia yang berkualitas. Seharusnya dengan segala bantuan yang belakangan diterima NAD, pendidikan di propinsi ini akan mampu menghasilkan manusia yang memiliki keunggulan kompetitif.

Mengenai dukungan orang tua terhadap pendidikan, harus diakui bahwa belakangan perhatian dan dukungan orang tua terhadap pendidikan anak secara umum menurun. Di beberapa sekolah yang sempat saya kunjungi, saya masih menemukan anak kelas 3 yang belum bisa menulis. Hal ini menurut saya cukup aneh. Aneh bila ada anak kelas 3 yang belum bisa menulis kalimat bahkan kata dengan benar. Jelas bahwa guru kurang memberikan bantuan individual untuk anak yang mengalami kesulitan dalam membaca dan jelas bahwa orang tua tidak cukup membantu anak dalam belajar. AIP CEPA melalui program yang dilaksanakan di 2 kabupaten (44 sekolah dan 8 madrasah) berkontribusi dalam membangun kembali kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mendukung belajar anak sekaligus mendukung program sekolah. Kabar dari lapangan menyatakan telah terjadinya perubahan di sejumlah sekolah. Kehadiran siswa di SDN 5 Baktiya pada musim panen padi meningkat dibandingkan dengan musim panen sebelumnya. Di SDN 4 Muara Batu masyarakat termasuk mantan kombatan GAM dan geuchik (kepala desa), menyumbang sejumlah dana untuk membeli 364 m2 tanah untuk pembangunan ruang kelas baru. Perubahan ini sungguh membanggakan dan semoga dapat ditularkan ke gugus dan sekolah lain di NAD.

Ketiadaan sarana dan prasarana pendidikan ? Berbicara mengenai prasarana maka yang paling menonjol di sekolah/madrasah di NAD adalah terbatasnya gugus sekolah yang memiliki Pusat Kegiatan Guru (PKG), serta ketiadaan atau tidak berfungsinya fasilitas sanitasi (WC dan air bersih). Bila yang dimaksudkan adalah alat bantu untuk pendidikan sebagaimana yang dikatakan Anas, untuk tingkat sekolah dasar pada umumnya semua sekolah sudah pernah mendapatkan kiriman Kit/Alat Peraga. Memang ditemukan ada beberapa sekolah yang belum memiliki alat peraga atau kit. Yang saya sayangkan adalah ketersediaan alat peraga di sekolah tidak menjamin meningkatnya kualitas pembelajaran, karena di sebagian besar sekolah/madrasah telah ditemukan alat peraga tersebut disimpan di kantor kepala sekolah atau ruang guru, masih dalam keadaan terbungkus plastik yang artinya adalah belum pernah digunakan. Seolah keberadaan alat peraga secara lengkap di setiap sekolah hanya diperlukan untuk keperluan akreditasi sekolah. Hanya untuk bisa menyatakan bahwa sekolah memiliki alat peraga secara lengkap. Sebagian guru menyatakan alasan mereka tidak menggunakan alat peraga itu adalah karena mereka tidak tahu cara menggunakannya. Bagi saya adalah aneh bila Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan untuk memberikan alat peraga kepada sekolah tanpa memberikan pembekalan mengenai cara penggunaannya. Aneh tetapi ini memang nyata adanya.

AIP CEPA melalui pemberian Dana Hibah untuk sekolah binaan mengharuskan setiap sekolah mengalokasikan sebagian dana untuk peningkatan kualitas pembelajaran selain untuk membangun atau merehabilitasi sarana fisik sekolah. Dana tersebut diarahkan untuk penyediaan alat dan bahan untuk membuat alat peraga, bukan untuk membeli alat peraga atau kit. Pada dasarnya untuk hampir seluruh topik pengajaran, guru memerlukan alat peraga. Karena itu dengan tersedianya bahan dan alat yang memadai, setiap guru bisa menciptakan sendiri alat bantu yang sesuai dan diperlukan untuk masing-masing topik.

Saat ini unit cost Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk setiap siswa cukup besar, bahkan sangat besar dibandingkan dengan sebelumnya. Semoga Kepala Sekolah dengan pengendalian dari guru dan Komite Sekolah dapat mengalokasikan sebagian dana BOS untuk penyediaan alat dan bahan untuk membuat alat peraga dan atau alat pendidikan lainnya (komputer, mikroskop untuk pendidikan menengah, dll).

Kualitas pendidikan tidak dapat ditingkatkan hanya dengan dibicarakan sebagai suatu wacana. Diperlukan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkannya. Dalam hal ini pembuat kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten, memegang peranan yang sangat penting. Di tingkat sekolah, revitalisasi Komite Sekolah yang dilakukan AIP CEPA bekerjasama dengan Majelis Pendidikan Daerah diharapkan bisa mengaktifkan peran lembaga ini sebagai advisor, controller, supporter dan mediator bagi sekolah.

No comments: